Liputan6.com, Purbalingga - Musim kemarau identik dengan kekeringan dan krisis air bersih. Namun, ternyata ada pula dampak berbahaya lainnya, yakni penyakit yang ditimbulkan oleh musim kering ini.
Akhir dasarian kedua Juli 2019 ini, sebagian wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau, tak terkecuali Purbalingga, Jawa Tengah. Di wilayah lereng Gunung Slamet ini, warga sudah mulai mengalami krisis air bersih.
Musim kemarau telah mengubah perilaku keseharian masyarakat dalam aktivitas mandi cuci kakus atau MCK-nya. Lantaran keterbatasan ketersediaan air bersih, jika biasanya mereka ber-MCK di kamar mandi, kini mereka berburu sumber air terdekat.
Advertisement
Baca Juga
Tak jarang, masyarakat di daerah kekeringan memanfaatkan air yang sebenarnya tak layak untuk aktivitas MCK, terlebih air minum. Namun, apa daya, air begitu terbatas sehingga masyarakat terpaksa memanfaatkan sumber air seadanya.
Lazim ditemui, sekelompok masyarakat memanfaatkan aliran sungai pada musim kemarau. Seluruh aktivitas, termasuk buang air besar, dilakukan di sungai.
Sementara, di pinggir-pinggirnya, masyarakat membuat sumur sederhana untuk mandi, mencuci, dan juga memenuhi kebutuhan air minum. Mereka tak sadar, kebiasaan itu memicu meningkatnya risiko penyakit diare.
Kepala Dinas Kesehatan Purbalingga, Hanung Wikantono mengatakan ketersediaan air bersih yang terbatas pada musim kemarau menyebabkan masyarakat berisiko mengonsumsi air tak layak minum. Terutama di wilayah yang mengalami krisis air bersih.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pencetus Diare, ISPA, dan Penyakit Kulit
Selain diare, pemanfaatan sumber air yang sebenarnya tak layak juga memunculkan risiko penyakit lainnya, yakni penyakit kulit.
"Waspada penyakit seperti diare dan penyakit kulit yang disebabkan karena kurangnya ketersediaan air akibat dari musim kemarau termasuk yang ada di Purbalingga," ucapnya dalam keterangan resminya, Senin, 8 Juli 2019.
Karenanya, ia meminta agar masyarakat menjaga sanitasi dan jangan sampai Buang Air Besar (BAB) sembarangan. Sebab BAB sembarangan justru akan menambah risiko pencetus penyakit. Terlebih, masyarakat memanfaatkan air yang berdekatan dengan tempat BAB.
Di luar persoalan air, menurut Hanung, perbedaan suhu yang ekstrem antara siang dengan malam hari juga memunculkan risiko penyakit saluran pernapasan atau ISPA. Risiko ISPA bertambah tinggi menilik karakter kemarau yang kering dan banyak debu.
Karenanya, ia mengimbau agar warga memakai masker wajah dan menggunakan jaket tebal untuk menghindari penyakit. Stabilitas suhu tubuh perlu dijaga agar tak sampai memicu penyakit.
"Pakai masker dan jaket agar tidak juga terkena ISPA serta radang yang juga bisa menyerang saat musim kemarau," dia mengungkapkan.
Untuk menajaga kondisi tubuh, Hanung bilang warga perlu meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan yang bergizi tinggi. Ia juga meminta warga menghindari makanan yang bisa memicu penyakit-penyakit tersebut.
"Ketersediaan air sebenarnya harus dijaga dan juga sanitasi serta jangan sampai BAB di sembarang tempat. Warga juga harus menjaga pola makan seperti mengurangi makanan pedas dan es," dia mengungkapkan.
Advertisement