Menilik Kerajinan Ecoprint di Purbalingga

Nilai tinggi itu, menurut dia, disebabkan popularitas ecoprint yang kian naik. Pemanasan global dan ramah lingkungan adalah kampanye yang begitu massif akhir-akhir ini

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 03 Sep 2019, 20:00 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2019, 20:00 WIB
Butik batik di Kutawaru, menyediakan batik yang berpewarna alami dari tetumbuhan, misalnya bakau. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Butik batik di Kutawaru, menyediakan batik yang berpewarna alami dari tetumbuhan, misalnya bakau. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Tren ramah lingkungan merambah dunia busana. Wastra atau kain-kain berpewarna alam mulai diburu konsumen, tak terkecuali di Purbalingga, Jawa Tengah.

Peluang ini dimanfaatkan oleh para pengusaha wastra, baik yang berlatar belakang batik maupun bukan. Salah satu di antara yang jeli melihat peluang itu adalah Kusmiyati, warga Bukateja, Purbalingga.

Dunia busana adalah hal asing bagi perempuan setengah baya ini. Ia adalah perajin sandal. Namun, naluri bisnis dan kecintaannya kepada karya seni menuntunnya ke industri wastra berpewarna bahan alami ini.

Kini, ia bergelut ecoprint. Kusmiyati menggunakan pewarna berbahan dasar dari tumbuhan yang bisa ditemukan di lingkungan sekitar.

Singkat kata, ia mulai bergelut mengembangkan ecoprint yang belum banyak dilirik perajin lainnya. Secara bertahap, ia belajar dan mengembangkan ecoprint yang kini semakin populer.

Bahan alami yang sering dia gunakan adalah Tabebuya, Jati, Ketapang, Jarak, Afrika, Paku, Jenitri dan Cemara. Warna alami tumbuhan tersebut diekstrak kemudian digunakan menjadi bahan pewarna kain.

"Jadi ecoprint ini bisa memanfaatkan tumbuhan dari lingkungan sekitar,” katanya.

Dia mengaku tertarik mengembangkan wastra ramah lingkungan karena harganya yang tinggi. Nilai tinggi itu, menurut dia, disebabkan popularitas busana ecoprint yang kian naik. Pemanasan global dan ramah lingkungan adalah kampanye yang begitu masif akhir-akhir ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Harga Tinggi

Kusmiyati memamerkan batik ecoprint setengah jadi yang berpewarna bahan alami. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Kusmiyati memamerkan batik ecoprint setengah jadi yang berpewarna bahan alami. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Selain itu, belum banyak perajin batik yang terjun ke industri ecoprint. Kusmiyati menduga, keengganan perajin batik terjun di ecoprint lantaran proses produksinya yang merepotkan.

Proses pembuatan ecoprint butuh ketelatenan lebih. Bahan alam yang digunakan pun terkadang sulit ditemukan.

Misalnya, daun eucalyptus (biasa diambil daunnya dan disuling menjadi minyak kayu putih), salah satu penghasil motif yang banyak diminati. Saking banyaknya yang mencari, akhir-akhir ini daun eucalyptus berharga mahal.

Tetapi, toh, kesulitan itu tak menghentikan semangat Kusmiyati untuk menjajal bisnis ini. Ia rela berbulan-bulan belajar kepada ahli ecoprint dan mencoba-coba sendiri di rumahnya.

Setelah tiga bulan terus menerus berlajar. Selama waktu itu, ia terus mencoba membuat perpaduan warna dan mempertajam teknik ecoprint.

Singkat kata, Kusmiyati cukup memiliki keterampilan. Bahkan, kini ia mulai menciptakan ecoprint dengan ragam motif.

"Saya latihan coba-coba terus," ucapnya.

Dalam prosesnya, kain lebih dulu direndam menggunakan air campuran tawas. Kemudian, bahan alam ditata di satu sisi kain. Lalu sisi yang lain dijadikan penutup. Perajin tinggal memukul-mukul kain itu menggunakan palu hingga motif bahan alam tercetak.

"Nanti motifnya mengikuti bentuk daun atau bunga yang digunakan," dia menjelaskan.

Proses pembuatan ecoprint butuh ketekunan dan kesabaran ekstra. Pembuatannya bahkan bisa memakan waktu berhari-hari. Antara satu perajin dengan lainnya pun hasilnya beragam, meski dibuat dengan bahan dan motif yang sama.

"Harga bervariasi, mulai ratusan ribu hingga lebih dari Rp 1 juta. Yang paling mahal terbuat dari bahan berkelas seperti kain sutra," dia mengungkapkan.

Beda Batik dan Ecoprint

batik semarang
Pelatihan membatik menjadi salah satu daya tarik bagi generasi milenial. (foto:Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Ecoprint sangat berbeda dengan batik. Namun banyak yang salah paham dan menyebut ecoprint sebagai batik.

Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa ambhatik, dari kata amba yang berarti lebar, luas, kain; dan titik yang berarti titik atau matik (kata kerja dalam bahasa Jawa berarti membuat titik). Berkembang menjadi istilah batik, yang berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Batik juga mempunyai pengertian sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan membuat titik-titik tertentu pada kain mori.

Batik sangat identik dengan suatu teknik (proses), dari mulai penggambaran motif hingga pelodorannya. Salah satu ciri khas batik adalah cara penggambaran motif pada kain yang menggunakan proses pemalaman, yaitu menggoreskan malam (lilin) yang ditempatkan pada wadah yang bernama canting dan cap. Teknik pewarnaan jika tanpa perintang warna, tak bisa dimasukkan dalam kategori batik.

Sementara itu Ecoprint adalah teknik memberi pola pada bahan atau kain menggunakan bahan alami. Teknik ini mudah diterapkan di rumah. Kegiatan ini bisa menjadi kegiatan akhir pekan yang menghasilkan barang unik.

Secara sederhana teknik ecoprint adalah membuat motif dengan berbagai bahan dari daun atau bunga sehingga menghasilkan motif. Motif terbentuk menyesuaikan kreatifitas dan imajinasi pembuatnya dalam menyusun bahan-bahan pewarna itu. Demikian pula dengan warnanya.

Keunikan kain yang digarap dengan teknik ecoprint adalah selalu menghasilkan corak yang berbeda. Meskipun jenis kain, bahan dan komposisi penyusunan bahan sama, namun ketika dipress akan menghasilkan warna yang tak 100% sama. Eksklusivitas inilah yang membuat harga ecoprint sangat mahal. 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya