Menumbuhkan Sikap Inklusif terhadap Difabel lewat Dokumenter Virtual Reality

Keberadaan teknologi VR juga dapat membangun kesadaran dan meningkatkan sensitivitas terhadap isu-isu difabel.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 04 Des 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 04 Des 2019, 16:00 WIB
Dokumenter VR tentang Difabel
Bertepatan dengan peringatan Hari Difabel Internasional yang jatuh setiap 3 Desember, Festival Film Dokumenter (FFD) mengajak masyarakat untuk menumbuhkan sikap inklusif melalui diskusi pemutaran dokumenter VR. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Bertepatan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh setiap 3 Desember, Festival Film Dokumenter (FFD) mengajak masyarakat untuk menumbuhkan sikap inklusif melalui diskusi pemutaran dokumenter virtual reality (VR). Film-film ini dibahas dalam acara bertajuk Premiere Talk: The Feelings Of Reality di auditorium Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta, Selasa (3/12/2019).

Kegiatan ini sebenarnya merupakan rangkaian FFD 2019 yang digelar pada 1 sampai 7 Desember 2019. Pelaksanaan acara dilakukan di tiga tempat, yakni Taman Budaya Yogyakarta (TBY), LIP, dan Kedai Kebun Forum. Dokumenter VR ini bisa disaksikan selama pelaksanaan FFD di TBY mulai pukul 13.00 sampai 21.00 WIB.

"Program Feelings of Reality bertujuan meretas realitas melalui film dokumenter VR yang memungkinkan pemirsa merasakan pengalaman yang berbeda," ujar Alwan Brilian, Project Officer FFD 2019.

Program ini diadakan di empat wilayah, yakni Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, dan Sumbawa atau NTB. Setiap daerah diikuti dua film maker yang menghasilkan delapan judul film, yakni Alun, Menjadi Agung, Aisyah, Saling, Menjadi Teman, Bulu Mata Kaki, Apa di Kata Katakanlah, Apadi Nada Katakanlah, dan Indera Kaki.

Sebelum memasuki masa pameran seperti sekarang, dokumenter VR ini melewati beberapa tahap. Pertama, penelitian yang dilakukan bersama dengan stakeholder lewat Forum Group Discussion (FGD) untuk memetakan persoalan hak-hal difabel dan mengindetifikasi jalur advokasi.

Kedua, sejumlah mentor membimbing para pembuat film dalam fase produksi dan workshop.

"Tantangan para pembuat film ini adalah membuat film melalui medium VR dan mengangkat isu difabel," ucap Alwan.

Ketiga, tahap private screening yang bertujuan mengundang komunitas, aktivis, dan pembuat keputusan untuk menguji coba realitas yang dibangun dalam dokumenter VR itu.

Alwan menuturkan melalui program ini, pemirsa bisa merasakan realitas yang berbeda yang dapat menjadi titik awal untuk memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi difabel sehari-hari. Keberadaan teknologi VR juga dapat membangun kesadaran dan meningkatkan sensitivitas terhadap isu-isu difabel.

 

Empati Muncul dari Balik Kacamata VR

Dokumenter VR tentang Difabel
Bertepatan dengan peringatan Hari Difabel Internasional yang jatuh setiap 3 Desember, Festival Film Dokumenter (FFD) mengajak masyarakat untuk menumbuhkan sikap inklusif melalui diskusi pemutaran dokumenter VR. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

VR atau realitas maya adalah teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan lingkungan yang ada di dalam film melalui simulasi komputer, sehingga pengguna merasa berada di dalam lingkungan tersebut.

Alun, misalnya, film ini dibuat oleh Riani Singgih dari Jakarta. Dokumenter berdurasi tujuh menit ini bercerita soal Isro, seorang penari tuna rungu yang berada di Jakarta. Penonton menyaksikan film ini memakai kacamata VR yang seolah-olah berada di tempat yang sama dan menjadi teman Isro.

Penonton juga bisa mendengarkan cerita tentang Isro dan merasakan apa yang Isro rasakan saat mempelajari musik  sebagai seorang pengajar tari.

Riani juga menambahkan pengalaman imersif kepada penonton melalui sarung tangan getar yang disesuaikan dengan volume musik yang dirasakan Isro.

Ahmad Syafi'i Nur Illahi dari NTB memebuat film Aisyah dengan teknik VR. Dokumenter ini bercerita tentang Aisyah, seorang siswi tunarungu yang mengenyam pendidikan di SLB. Gadis ini memiliki bakat di bidang seni tari. Aisyah memperjuangkan bakatnya dan keinginan untuk mengenyam pendidikan seperti anak-anak lainnya.

"Saya mengangkat tema ini karena di daerah kami, masih banyak keluarga yang malu memiliki anak difabel, mereka hanya mengurung anaknya di rumah supaya tidak terlihat orang banyak," ujar Ahmad.

Ia mengaku sudah beberapa kali membuat film, tetapi baru satu film ini yang memakai teknologi VR. Secara teknis, film ini menggunakan kamera 360 derajat yang memungkinkan untuk mengambil gambar sisi depan dan belakang secara bersamaan. Setelah itu, gambar diedit menggunakan software editing di komputer.

 

 

Media Jadi Sarana Advokasi

Dokumenter VR tentang Difabel
Bertepatan dengan peringatan Hari Difabel Internasional yang jatuh setiap 3 Desember, Festival Film Dokumenter (FFD) mengajak masyarakat untuk menumbuhkan sikap inklusif melalui diskusi pemutaran dokumenter VR. (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Dalam sesi diskusi Ajiwan Arief dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) mengungkapkan media bisa menjadi sarana advokasi untuk difabel. Meskipun demikian, media mainstream tidak sepenuhnya memahami isu-isu difabel ketika menyajikan berita atau informasi sehingga memperkuat stigma tentang difabel.

"Melalui dokumenter ini harapannya bisa menjadikan Indonesia lebih inklusif," ucapnya.

Ia juga berharap, isu disabilitas tidak hanya mendapat perhatian saat peringatan Hari Disabilitas Internasional, melainkan juga di setiap waktu.

Menurut Ajiwan, interaksi difabel dan non-difabel sebenarnya bisa terbangun. Ia mencontohkan, dalam film dokumenter Indera Kaki karya Ihsan Achdiat dari Bandung menunjukkan hal itu. Sebagai seorang penyintas dari kecelakaan kereta api, Indra Sumedi hidup tanpa kedua kakinya.

Ia menginisiasi Kelompok Kreatif Difabel (KKD) di Bandung yang memproduksi kaki dan tangan palsu yang ddidistribusikan ke seluruh Indonesia.

Ia juga berpendapat anak-anak di desa bisa menjadi gerbang inklusivisme. Sebab, mereka bermain dengan siapa pun tanpa membeda-bedakan. Misal, saat bersepeda dan ada teman yang tidak bisa bersepeda karena tidak memiliki kaki, mereka tetap akan mengajak anak itu bermain dan berperan sebagai penjual bensin.

Stigma justru terbentuk dari lingkungan keluarga yang menganggap difabel berbeda dan menularkan sudut pandang itu kepada anak-anaknya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya