Karhutla 2020 Diprediksi Lebih Parah, Pokmas Peduli Gambut Rapatkan Barisan

Provinsi Riau diprediksi menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan lebih serius dibanding tahun ini menyusul prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait ancaman musim kemarau panjang.

oleh Syukur diperbarui 15 Des 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 15 Des 2019, 17:00 WIB
Karhutla Riau sebagai pemicu kabut asap diprediksi lebih parah tahun depan karena musim kemarau panjang.
Karhutla Riau sebagai pemicu kabut asap diprediksi lebih parah tahun depan karena musim kemarau panjang. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Provinsi Riau menghadapi ancaman karhutla 2020 lebih serius dibanding tahun ini. Hal ini menyusul prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait ancaman musim kemarau panjang.

Menurut Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, tahun 2020 musim hujan di Riau hanya lima bulan, sisanya kemarau. Musim kering ini terjadi beberapa bulan diawal tahun, lanjut ke pertengahan dan disambung hingga akhir tahun.

Untuk daerah bergambut di Indonesia, kemarau ini terbilang sangat lama. Pasalnya di Sumatra Selatan hanya lima bulan, Jambi tiga bulan dan Kalimantan Barat (Kalbar) lebih singkat lagi.

"Kalbar itu hanya satu bulan, oleh karena itu mari tinggalkan cara membuka lahan dengan cara membakar," kata Nazir di Pekanbaru, Sabtu siang, 14 Desember 2019.

Setiap unsur, mulai dari pemerintah daerah hingga kelompok masyarakat (pokmas) peduli gambut diminta lebih waspada. Tidak ada waktu lengah agar bencana asap hasil karhutla tahun ini tak terjadi lagi.

"Kebakaran 2019 lumayan mengagetkan kita, terjadi di luar dugaan. Tentu kita tidak ingin terulang lagi," ujarnya.

Saat ini, ada 299 pokmas binaan BRG yang tergabung dalam kesatuan hidrologis gambut (KHG). Anggota pokmas ini lebih banyak berurusan dengan gambut karena dari tanah berair itulah sumber ekonominya.

"Anggota pokmas mari rapatkan barisan agar gambut tidak terbakar," sebut Nazir.

Di sisi lain, Nazir menyebut pemerintah pusat, baik itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Pekerjaan Umum dan BRG telah berulang kali melakukan rapat koordinasi.

Seluruh unsur di atas sepakat untuk memetakan dan mencegah karhutla dengan pemulihan gambut bersama-sama. Semuanya sepakat untuk turun dengan basis KHG atau lansekap.

"Sudah ada enam lanskap yang disurvei, turun lewat udara dan akan memutuskan lanskap mana saja yang digarap," urainya.

Simak video pilihan berikut ini:

Deklarasi Koperasi

Badan Restorasi Gambut bersama pokmas peduli gambut Riau mendeklarasikan koperasi di Hotel Arya Duta Pekanbaru.
Badan Restorasi Gambut bersama pokmas peduli gambut Riau mendeklarasikan koperasi di Hotel Arya Duta Pekanbaru. (Liputan6.com/M Syukur)

Tak hanya menjaga gambut tetap basah, pokmas tadi juga meningkat sumber ekonomi dari lahan dengan ragam produksi. Misalnya mi sagu, kopi gambut, makanan ringan dari nanas dan lainnya.

Untuk membuka akses pasar dan memudahkan koordinasi, ratusan pokmas peduli gambut tadi membuat koperasi. Koperasi ini sudah dideklarasikan perwakilan ratusan pokmas di Hotel Arya Duta Pekanbaru.

"Ini inisiatif setelah tiga tahun program BRG bergulir. Tujuannya agar mereka lebih kuat, dan kita dukung sepenuhnya," kata Nazir.

BRG sejak tahun 2017 telah melakukan program revitalisasi ekonomi atau R3 sebagai komponen penting restorasi ekosistem gambut. Program ini jadi wadah masyarakat memanfaatkan ekosistem gambut.

"Pemanfaatannya dilakukan dengan ramah lingkungan dan menghasilkan produk-produk khas gambut yang memiliki nilai jual," jelas Nazir.

Nazir berharap koperasi ini menjadi wadah konsolidasi hasil pertanian, perkebunan dan usaha kecil dari para petani, peningkatan kualitas produk, serta akses ke pasar yang lebih kuas.

"Kita harapkan program revitalisasi ekonomi ini dapat berdikari dan berkelanjutan," ujarnya.

Sementara itu, Asisten Deputi Pertanian dan Perkebunan pada Kementerian Koperasi dan UKM Dewi Syarlen, berjanji membantu pokmas binaan BRG untuk mengembangkan usaha mereka.

"Dengan membangun koperasi dan berkelompok maka hasilnya lebih maksimal. Nanti koperasi akan menyalurkan produk mereka. Sekarang kan hasil melimpah namun yang nampung tidak ada," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya