Liputan6.com, Aceh - Dua santri laki-laki di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, menjadi korban kejahatan seksual terhadap anak di pesantren tempat keduanya menyantri. Tersangkanya adalah MZF (26), yang menurut polisi merupakan salah seorang guru agama di pesantren tersebut.
Kedua korban berumur 13 dan 14 tahun, telah dicabuli oleh tersangka pada November dan Desember 2019, dengan jumlah kejadian masing-masing 5 kali dan lebih dari 5 lima kali. Tersangka melakukan pencabulan di bilik kedua korban.
MZF dilaporkan oleh salah satu korban yang berinisiatif mendatangi kantor kepolisian terdekat didampingi beberapa santri liyan pada 16 Januari. Tak lama setelah pelaporan itu, tersangka menyerahkan diri diantar jajaran pimpinan pesantren tersebut.
Advertisement
Kejadian ini terjadi di salah satu pesantren di Kecamatan Dewantara. Kasus ini ditangani kepolisian resor Kota Lhokseumawe karena masuk dalam wilayah hukum polres terkait kendati pesantren tersebut berada di wilayah administrasi Kabupaten Aceh Utara.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lhokseumawe, Iptu Lilisma Suryani, mengungkapkan bahwa salah satu korban sempat menuliskan kejadian yang menimpa ia dan temannya di dalam buku harian. Salah satu korban bahkan sempat ingin bunuh diri.
"Itu tersirat juga dalam diary-nya," jelas Suryani saat dihubungi Liputan6.com, Kamis siang (23/1/2020).
Berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog yang didatangkan dari Kota Banda Aceh, para korban masih mengalami trauma. Psikis keduanya hingga kini masih terganggu karena beratnya beban psikis yang dialami.
"Dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh Utara, kita sudah minta tolong untuk di-konseling kedua anak ini," imbuhnya.
Sanksi terhadap Pelaku
Kepolisian telah mengambil ancang-ancang akan menimpakan tersangka dengan pasal 47 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Pilihan hukuman terhadap MZF, yakni, cambuk 90 kali, denda 900 gram emas, atau penjara paling lama 90 bulan, setara dengan 7,5 tahun.
Menurut Suryani, proyeksi kepolisian telah sejalan dengan keberadaan aturan setingkat peraturan daerah itu sendiri. Pilihan menggunakan qanun dinilainya sebagai jalan terbaik untuk menghukum tersangka.
"Di Aceh sudah ada aturan tersendiri, namanya qanun itu, dan di dalam qanun itu dalam pasal 72 sudah dijelaskan, jadi apa pun yang terkait masalah seksual itu tetap menggunakan qanun. Nanti, takutnya kita menggunakan Undang-Undang Perlindungan Terhadap Anak (UUPA), nanti, dari pihak pengacara si tersangka, celah bagi dia supaya perkara ini terbebaskan," katanya.
"Tapi, kan, tetap akan kita koordinasi sama jaksa sebisa mungkin jangan cambuk tetapi penjara walaupun menggunakan qanun," tambah Suryani.
Advertisement
'Salah Paham' Polres Lhokseumawe
Menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Banda Aceh, Syahrul, keputusan polisi menggunakan qanun dinilai salah besar dan keliru. Segala hal yang berkaitan jaminan dan perlindungan serta konsekuensi dari setiap pelanggaran yang berkaitan dengannya telah diatur secara tersendiri (lex specialis) di dalam UUPA, sementara, qanun jinayah adalah aturan yang mencakup sejumlah pelanggaran syariat beserta konsekuensi sanksi bagi pelanggarnya.
Apalagi, imbuh Syahrul, bukan kali pertama Polres Lhokseumawe menyampingkan UUPA yang notabene mempunyai kadar sanksi lebih besar ketimbang qanun. Yang dimaksud Syahrul adalah kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dialami belasan santri di mana pelakunya tak liyan ialah AIN (45), sang pimpinan pesantren dan seorang bawahannya MY (26), yang mencuat pada 2019.
Dalih Polres Lhokseumawe bahwa mereka hanya mengikuti hierarki perundang-undangan malah bisa berujung fatal bagi para korban. Kejahatan seksual terhadap anak masuk dalam kategori extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang hukumannya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (Pasal 76D).
Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 81 ayat 1).
Hukumannya dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana jika pelaku memiliki hubungan kekeluargaan atau kedekatan liyan dengan korban, seperti MZF dan kedua korbannya, yang notabene berstatus guru-murid. Ini tertera dalam pasal 81 ayat 3, bahwa pidana tambahan dapat diberikan jika pelakunya adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, sebaliknya, pasal qanun yang disangkakan kepada MZF berbunyi:
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan (Pasal 46).
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan (Pasal 47).
MZF boleh jadi akan dihukum 20 tahun penjara seandainya polisi memakai UUPA, ketimbang hanya dihukum cambuk atau pidana selama 7,5 tahun seperti yang tertera di dalam qanun. Belum lagi, tidak akan ada hak restitusi terhadap kedua korban jika polisi kukuh dengan pendirian mereka.
Cara pandang polisi memukulrata antara sanksi kasus kejahatan seksual terhadap anak dengan kasus pelecehan seksual secara umum seperti yang tertera pada pasal 47 di dalam qanun dinilai sebagai falsifikasi yang liyan oleh Syahrul. Kejahatan seksual dan pelecehan seksual merupakan dua hal yang berbeda —pasal yang dikenakan terhadap MZF adalah pasal yang sama yang dipakai polisi dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan AIN.
Menyasar tersangka dengan pasal pelecehan seksual dalam qanun sama saja dengan menafikan betapa merusaknya perbuatan tersangka. Polisi taksa dalam mengambil keputusan atas kejahatan seksual terhadap anak yang telah dilakukan oleh AIN, kini hal tersebut terulang kembali dalam kasus MZF.
Harusnya Belajar dari Wilkum Liyan
Menurut Syahrul, Polres Lhokseumawe semestinya belajar dari kasus serupa yang terjadi di beberapa daerah liyan di Aceh. Misal, Pengadilan Negeri Blang Pidie menjatuhkan vonis 20 tahun penjara dan denda Rp 800 juta atas pelaku pencabulan terhadap anak tiri. Ini mestinya bisa menjadi preseden bagi Polres Lhoksemawe.
"Selain itu bulan November tahun 2018 lalu di PN Pidie, hakim juga telah memutuskan 20 tahun penjara terhadap salah seorang petani yang melakukan kekerasan seksual terhadap 8 orang anak dibawah umur," sebut pria yang pernah aktif di organisasi Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR).
Kata Syahrul, belum terlambat bagi Polres Lhokseumawe untuk berpikir lebih tendensius. Dalam kasus ini, polisi mesti tegas dalam memosisikan diri di sisi keberpihakan yang kentara, yakni di pihak korban, bukannya tenggelam pada proyeksi-proyeksi dalam domain yang sama sekali berseberangan dengan ruh perlindungan terhadap anak.
"Ini masalah besar di Lhokseumawe. Kita berharap polisi bisa melakukan terobosan. Aparat penegak hukum, tidak memberi contoh, tidak memberi hukuman yang berat, tapi yang ringan kepada pelaku," ia memungkasi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement