Jebakan Listrik Tikus Sawah Terus Makan Korban Jiwa, Burung Hantu Jadi Solusi

Sedikitnya tujuh kecamatan di Sragen menggunakan jebakan tikus beraliran listrik. Namun, solusi ini berdampak buruk karena telah memakan korban jiwa tiga orang

diperbarui 14 Mei 2020, 21:00 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2020, 21:00 WIB
Gerakan pengendalian (gerdal) hama tikus melalui aksi gropyokan yang dilakukan pihak Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Provinsi Sumatera Utara. (Dok Kementan)
Gerakan pengendalian (gerdal) hama tikus melalui aksi gropyokan yang dilakukan pihak Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Provinsi Sumatera Utara. (Dok Kementan)

Sragen - Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen mendatangkan burung hantu untuk menangani hama tikus. Burung hantu bisa menjadi salah satu cara menggantikan jebakan tikus berlistrik.

Burung hantu adalah predator alami tikus. Hama tikus menjadi masalah besar bagi petani di Sragen lantaran menyerang padi.

Selama ini para petani di sedikitnya tujuh kecamatan di Sragen menggunakan jebakan tikus beraliran listrik. Namun, solusi ini berdampak buruk karena telah memakan korban jiwa tiga orang.

Ketua KTNA Sragen Suratno kepada Solopos.com, Minggu (10/5/2020), mengatakan bila Pemkab Sragen tidak bisa menyediakan burung hantu maka jebakan tikus berlistrik bakal tetap dipertahankan petani.

Konsekuensinya, petani harus memasang rambu-rambu berisi pemberitahuan ada jebakan berbahaya. Jebakan tikus berlistrik juga wajib dijaga petani supaya tidak muncul korban baru.

Suratno sudah menggali informasi kepada petani di wilayah Ngrampal, Sragen, tentang penggunaan jebakan tikus berlistrik. Menurut petani, jebakan ini cukup efektif menghalau tikus.

“Jebakan tikus beraliran listrik itu ternyata mampu membasmi 1.000 ekor tikus dalam satu patok sawah. Artinya, jebakan berlistrik itu dianggap petani paling efektif dibandingkan dengan cara-cara teknis dan kimia, seperti pengobatan, pemasangan racun, dan seterusnya. Sebenarnya dengan pengadaan burung hantu itu juga efektif karena satu ekor burung hantu itu bisa memakan delapan ekor tikus di sawah per malam,” terang Suratno.

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Cara Efektif Berantas Tikus

Tikus, hewan yang membawa penyakit Leptospirosis. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Tikus, hewan yang membawa penyakit Leptospirosis. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Dia menambahkan beberapa petani di wilayah Pilangsari sudah memasang rambu-rambu bahaya jebakan tikus dengan menggunakan MMT.

Dia berharap gerakan yang dilakukan petani di Pilangsari itu bisa diikuti petani lainnya. Bila perlu, Suratno meminta PLN membuatkan standar keselamatan dalam pembuatan jebakan tikus berlistrik.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan & Ketapang) Sragen, Eka Rini Mumpuni Titi Lestari, mengatakan pengandalian tikus dengan memelihara burung hantu hanya salah satu upaya.

Ketika tikus sudah berkembang biak secara cepat maka dibutuhkan penanganan yang cepat, aman, dan berkesinambungan. Petani bisa menggabungkan beberapa cara penanganan tikus, yakni dengan cara gropyokan tikus rutin setelah panen, fumigasi, dan pasang umpan.

Eka Rini menegaskan penggunaan jebakan tikus berlistrik tidak direkomendasikan karena sangat membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain.

“Sragen pernah ada demplot pengembangan burung hantu di Ngarum, Ngrampal, dan sampai sekarang masih ada. Populasinya tidak bisa menghitung karena hidup liar. Kalau hanya mengandalkan burung hantu tidak akan mampu mengendalikan hama tikus sehingga harus diikuti pengendalian teknis dengan gropyokan dan seterusnya,” terang dia.

Terpisah, Kapolsek Sragen Kota AKP Mashadi bersama Muspika Sragen Kota memasang imbauan larangan memasang jebakan tikus berlistrik di areal persawahan wilayah Desa Kedungupit dan Tangkil, Sabtu (9/5/2020).

Dapatkan berita Solopos.com lainnya, di sini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya