Menyusuri Sejarah Kabupaten Gunungkidul dari Peninggalan Ki Demang Wonopawiro

Berdirinya Kabupaten Gunungkidul tidak lepas dari perjuangan seorang demang, Ki Demang Wono Pawiro, yang merupakan prajurit setia Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.

oleh Hendro diperbarui 14 Okt 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2020, 00:00 WIB
Sejarah Gunungkidul
Berdirinya Kabupaten Gunungkidul tidak bisa lepas dari perjuangan seorang demang, Ki Demang Wono Pawiro, yang merupakan prajurit setia Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan HB I. (Liputan6.com/ Hendro Ary Wibowo)

Liputan6.com, Gunungkidul - Berdirinya Kabupaten Gunungkidul tidak lepas dari perjuangan seorang demang, Ki Demang Wono Pawiro, yang merupakan prajurit setia Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan HB I. Kisah perjuangannya tersebut tergambar jelas di sebuah tempat yang masih terjaga keasliannya, Joglo Citakan.

Joglo Citakan, sebuah bangunan yang berada di Padukuhan Piyaman I Kalurahan Piyaman Kapanewonan Wonosari Gunungkidul. Joglo ini berada di sebelah utara Kapanewonan Wonosari, atau berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat Alun-alun Wonosari.

Generasi Keenam Demang Wonopawiro, Basuki Wibowo Raharja mengungkapkan, Joglo Citakan telah ditetapkan sebagai benda Cagar Budaya oleh Bupati Gunungkidul Badingah melalui SK 2/75/KPPS. Bangunan ini berbentuk Joglo dengan gaya Mataram dan kini masih berupaya dijaga keaslian sebagai mana mestinya.

"Empat Soko Guru masih utuh. tumpuk undak 5, dodok wesi ukir masih asli,"ujarnya saat ditemui Liputan6.com di Joglo Citakan, Senin (11/10/2020).

Tumpuk undak atau desain atas Joglo tersebut memiliki filosofi Lung Tinulung atau saling tolong menolong. Dengan hiasan ukiran berbentuk bunga Teratai yang menandai peralihan agama Hindu Budha ke Islam. Lung Tinulung dengan ukiran teratai jika dalam filosofi menggambarkan masyarakat Jawa itu memiliki sifat tolong menolong dengan tawaduk, seperti bunga teratai yang selalu menampilkan makna. Di mana bunga teratai akan selalu berbunga indah di manapun ia tumbuh.

Lelaki yang akrab dipanggil Bowo inipun menjelaskan, pihaknya sudah berupaya menjaga semua aspek sesuai dengan batas kemampuannya. Termasuk lampu utama di tengah Joglo masih original sampai sekarang. Kayu usuk masih utuh meskipun reng-nya sudah diganti karena lapuk dimakan usia. Demikian juga genteng masih ada beberapa yang utuh, asli sejak dahulu belum diganti.

Berdasarkan penelusurannya selama 5 tahun, Joglo Citakan tersebut didirikan oleh Ki Bagus Damar Wonopawiro sekitar tahun 1750. Ki Bagus Damar Wonopawiro merupakan sebutan dari Wono Pawiro sebelum mendapatkan gelar Demang dari Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat.

Bangunan tersebut berwujud arsitektur joglo mataram. Dari sisi soko guru sudah mulai rapuh dan tahun 2000 lalu sudah diganti dengan alasan mempertahankan kekokohan bangunan. Demikian penanggap soko penitih juga sudah dirubah. Joglo tersebut awalnya berada di bagian belakang rumah utama namun karena elevasinya lebih rendah maka dipindah ke bagian depan pada 1970.

Bangunan Joglo Citakan tersebut awalnya bagian depan adalah lintring kemudian Joglo, pringgitan, limasan dan sebelahnnya kampung memanjang. Atas kepentingan waris diubah dan Joglo dipertahankan di mana ada pintu yang masih disimpan di belakang sebagai bukti otentik.

Di pintu depan ada dua cakruk (gardu) di mana masing-masing ada tempat tidur di sisi kanan kiri. Kemudian ada gerbang gapuran serta ada tempat penambatan kuda. Namun karena lapuk dimakan usia maka bangunan tersebut kini sudah tidak ada lagi.

"Joglo ini ada penambahan ada lintring dan limasan meski tidak otentik demi kepentingan waris. Originalnya itu disimpan," tambahnya.

Ia menyebutkan, bangunan tersebut didirikan tahun 1750 sama dengan Pasar Paing Piyaman I. Kemudian pengelolaan putera tunggal Manginpawiro, Demang terakhir Piyaman. Dari Mangunpawiro jatuh ke putera ketiganya yaitu Kartoawito dan kemudian diwariskan  ke putra kedua Rakidin Prawiro Miyarjo. Kemudian  diwariskan ke Giyono Dwijo Sumarto terus ke Basuki Wibowo Raharja atau dirinya.

Wibowo menjelaskan, konstruksi bangunan Joglo Citakan tersebut berbahan kayu jati. Namun berdasarkan cerita yang telah diwariskan turun temurun, ketika Joglo Citakan didirikan tahun 1750, ternyata joglo tersebut bukan bangunan baru tetapi membeli joglo sudah ada, Joglo tersebut ternyata berasal dari Kajar yang dimiliki oleh Tuan Kajar.

"Bergaya khas Mataraman karena Yin Yangnya sangat terlihat keutuhannya," ungkapnya.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Benda-Benda Bersejarah

Sejarah Gunungkidul
Tumpuk undak atau desain atas Joglo tersebut memiliki filosofi Lung Tinulung atau saling tolong menolong. Dengan hiasan ukiran berbentuk bunga Teratai yang menandai peralihan agama Hindu Budha ke Islam. (Liputan6.com/ Hendro Ary Wibowo)

Di dalam Joglo Citakan masih banyak benda-benda bersejarah yang masih terjaga keasliannya. Selain ada lampu yang masih original, ada juga Gongso (Gong) di mana  secara arsitektur biasanya berbentuk Nogoro (Naga) namun Gongso di Joglo Citakan berbentuk Buaya, dan itu diyakini nyaris sama dengan Gamelan Pusaka Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Guntur Geni.

Awalnya, ada seperangkat Gamelan yang diwariskan oleh Ki Demang wono Pawiro. Namun karena keturunan Demang Wono Pawiro yaitu Panji Harjo Pawiro yang menikah dengan Roro sudarmi memiliki 11 anak maka seperangkat Gamelan tersebut dibagi menjadi 11. Di rumah utama tersebut tinggal beberapa bagian yang lantas dilengkapi meskipun berbahan besi.

Pada bagian dalam ada rumah limasan yang berisi Brancakan (tempat) Gongso berbahan Perungcu kirana Majapahit. Meja kecil yang masih original di masa lalu keramik louhang serta ada juga Kastok (cermin) yang juga masih original.

Ada juga dua lukisan masing-masing Lukisan eyang Simongali dan Wayang. Lukisan Eyang Simongali menyimbulkan kemampuan menundukan nafsu dengan yang dimaksud. Serta Lukisan Wayang dalam kaca abad 17.

Di bagian tengah ada Pendaringan atau tempat tidur istimewa. Di masa lalu biasanya merupakan tempat eksluksif bulan madu bagi pengantin baru. Di samping itu juga masih ada Jodang atau tempat membawa makanan. Di mana dari klaster sosial tertentu Jodang sering digunakan untuk membawa peralatan, mem;awa makanan hajatan dengan cara dipikul.

"Masih ada Tempat kendang, Kenong, keramik, kuningan, sendok. Kendil dari kjningan untuk memasak jamu dan di masa itu beliau rajin minum jamu. Dan sampai umur 115 masih sehat. Ada juga lemari," paparnya.

Kemudian masih banyak pusaka-pusaka peninggalan dari Ki Demang wonopawiro. Berbagai pusaka tersebut menggambarkan peperangan yang pernah diikuti oleh Ki Demang wonopawiro dalam mendidik kasihkan dirinya kepada Pangeran Mangkubumi

Pusaka tersebut di antaranya Eyang Kyai Jalak, yang dibuat era Empu Sendok motif pulang nggeni pangguh cirebon yang khusus dipakai dalam berbagai peperangan. Kemudian pusaka Eyamg Kyai Jangkung yang dibuat di era empu Sendok dengan Pamor Pendaringan Kebak, penuh dengan meteor.

Lantas pusaka Eyang kyai Bethok yang difungsikan sebagai penetralisir segala gangguan biasanya untuk mengayomi semua pusaka di mana secara visual bentuknya hanya pendek. Kemudian Pedang Kyai Sendomaruh di mana secara hstoris siapapun  pemegang pusaka tersebut merupakan seseorang dengan jabatan pengageng (tinggi) dalam kaprajuritan

"Prajurit biasa beda dengan Pengageng Kaprajuritan," tambahnya.

Di samping itu masih ada tiga lagi yang tidak boleh dibuka yaitu pusaka berupa tombak. Tiga pusaka tersebut adalah Eyang Kyai Pacar bilah dong pring, bilah mojopahit yang berfungsi sebagai tolak bala peperangan dan ditempatkan di paling depan. Kemudian Tombak Eyang kyai Slamet berbentuk Sigar jantung Pungguh Tuban Pamor Wengkan.

Terakhir adalah Tombak Biring dengan pangguh Mataram Pamor Wulit Semongko

Di era Hindu Budha di mana landainya tinggal pendek karena keropos dimakan usia. Kemudian ada tempat jamasan pusaka serta beberapa ukiran yang dibungkus kain putih agar tetap asli dam tidak tergores apapun.

"Ukiran itu bermotif Podang Ngisep Sari. Di mana motif batik tersebut digunakan panji (bendera) Gunungkidul," ungkapnya.

 

 

Ki Demang Wonopawiro dalam Peperangan

Sejarah Gunungkidul
Di dalam Joglo Citakan masih banyak benda-benda bersejarah yang masih terjaga keasliannya. (Liputan6.com/ Hendro Ary Wibowo)

Dari pusaka-pusaka yang ada di Joglo Citakan tersebut dapat menggambarkan agresifitas dan intensitas Ki Demang Wonopawiro dalam mendukung semua peperangan Pangeran Mangkubumi. Di mana sejak 24 tahun sudah ikut serta di dalam peperangan Pangeran Mangkubumi kala itu.

Ia menyebutkan ketika Geger (perang) Kartosuro, Bagus Damar Wonopawiro maju perang menggunakan pusaka Eyang Slamet. Perang itu terjadi pada 1742 di mana Pangeran Mangkubumi melawaan VOC Belanda.

"Tahun 1746 sebenarnya masih persiapan pangeran Mangkubumi namun Bagus Damar Wonopawiro sudah ditunjuk menjadi Demang di Piyaman," katanya. 

Kemudian pada 1747 terjadi perang dahsyat yang melibatkan 13.000 laskar mataram. Kala itu Ki Demang Wonopawiro membawa Pusaka Eyang Kyai Pacar yang ukurannya relatif kecil. Meskipun hanya membawa pusaka kecil, tetapi Ki Demang Wonopawiro justru berada di barisan paling depan.

Pada 1748 dirinya terlibat lagi perang di mana Pangeran Mangkubumi menyerang Keraton Surakarta yang masih di bawah Kendali Patih Pringgoloyo, yang konon berpihak kepada VOC. Tahun 1749 Pangeran Mangkubumi berhasil membatalkan perjanjian Ponorogo

"Didasari intensitas peperangan yang sering dilakukan oleh Demang Wonopawiro maka didirikanlah Joglo Citakan ini," katanya.

Joglo Citakan sejatinya didirikan untuk menjadi markas petinggi pasukan Ngayogyakarto Hadiningrat. Di markas tersebut mereka menyusun strategi yang cerdas untuk berperang. Joglo Citakan letaknya hanya 500 meter dari kediaman utama Ki Demang Wonopawiro dan memiliki lahan seluas 10 ribu meter persegi, yang masih berbentuk hutan. Hal tersebut untuk menyamarkan langkah strategi perang mereka.

Tahun 1754 pangeran Mangkubumi menerima kesepahaman dengan VOC tentang Sukowati. Dan di tahun 1754 itulah ada perintah tahap I yaitu perintah Babad Alas Nongko Doyong. Namun Babad Alas Nongko Doyong I tersebut gagal total karena banyak halangan. Di tahun 1754 itu pula, Ki Bagus Damar Wono Pawiro dikukuhkan mmenjadi demang di Piyaman.

"Tahun 1755 ada perjanjian Giyanti," tambahnya.

Kemudian pada 1756 munculah sayembara Babad Alas Nongko Doyong dan lantas disanggupi Wonopawiro. Kemudian tahun 1757 Sri Sultan I menginvestigasikan hasil kerja Wonopawiro ternyata hasilnya bagus. Di tahun itu pula Sri Sultan HB I memerintahkan Wonopawiro menjadi bupati GK I.

Namun karena kenegarawan Wonopawiro, ia tidak bersedia menjadi Bupati Gunungkidul. Oleh karena itu jabatan bupati jatuh pada Prawiro Setiko terlebih dahulu dan Wironegoro menjadi patih atau wakilnya. 

"Saat itu sudah ada dua Kadipaten yaitu Kadipaten Semingkar di Sambi Pitu dan Kadipaten Ponjong. Jika Wonopawiro bersedia jadi Bupati maka akan ada wilayah yang iri," katanya.

Ki Bagus Damar Wono Pawiro lahir pada 1718 di Buyutan Ngawen kemudian pindah ke Katongan Nglipar. Kemudian pada 1735 pindah ke Piyaman, saat itu Wono Pawiro mulai membangun Perkampungan Piyaman. Piyaman diambil dari frasa 'Sepi dan Aman'.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya