Liputan6.com, Pasaman Barat - Seekor buaya muara di Jorong Rantau Panjang, Nagari (desa adat) Sasak Kecamatan Sasak Ranah Pasisia Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat ditangkap dan ditombak oleh warga setempat.
Tindakan itu diduga karena sebelumnya ada satu warga yang digigit buaya ketika mencari lokan di sungai. Dari hasil identifikasi, buaya yang akhirnya mati itu berkelamin jantan, seberat 360 kilogram, dan berusia 18 tahun.
Advertisement
Baca Juga
Pengendali Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, Ade Putra mengatakan setidaknya ada lima titik luka tombak ditemukan di tubuh buaya muara tersebut.
"Bahkan ada luka yang tembus di badan buaya," kata Ade kepada Liputan6.com, Sabtu (30/1/2021).
Dari informasi yang diperoleh Ade, penangkapan buaya itu dilakukan oleh masyarakat pada Kamis 28 Januari 2021 pukul 23.00 WIB. Kemudian BKSDA mendapat laporan pada Jumat 29 Januari pukul 01.00 WIB.
Saat pagi hari, sesampai tim BKSDA di lokasi buaya tersebut ditemukan sudah dalam keadaan mati. Kemudian pihaknya mengevakuasi buaya tersebut dan menguburkannya di Kabupaten Agam, setelah diperiksa dokter hewan.
"Rencananya dalam waktu dekat kami juga akan memasang perangkap untuk memindahkan satwa itu, namun keduluan oleh warga," ujar Ade.
Padahal, lanjutnya pihak BKSDA sudah mengingatkan ke tokoh masyarakat setempat agar tidak membunuh buaya karena satwa dilindungi.
Buaya merupakan jenis satwa yang dilindungi oleh peraturan perundangan di Indonesia, sesuai dengan undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Kesaksian Korban Gigitan Buaya
Informasinya di sungai tersebut masih ada buaya namun tidak diketahui berapa jumlahnya. Tidak bisa dipastikan juga bahwa yang menggigit seorang warga tersebut adalah buaya yang ditangkap masyarakat.
Dari pengakuan korban, ketika mencari lokan di sungai, buaya menggigit kakinya sedikit lalu dilepaskan kembali.
"Korban dibiarkan berenang dan kembali ke pinggir sungai oleh buaya tersebut," jelas Ade.
Jika hendak memangsa, kata Ade dengan posisi korban yang berada di kedalaman sungai, sangat mudah bagi buaya untuk memangsanya.
Ade menyayangkan tindakan masyarakat yang menangkap dan melukai buaya tersebut hingga mati. Pihaknya juga akan menindaklanjuti kejadian itu setelah situasi mulai tenang.
"Januari hingga Juli merupakan masa buaya untuk kawin dan bertelur, sehingga memang lebih agresif terhadap makhluk lain tak terkecuali manusia," ujarnya.
Ia juga mengimbau warga untuk waspada dan hati-hati ketika beraktivitas di dalam sungai atau muara, tidak beraktivitas pada malam hari karena buaya merupakan satwa yang aktif pada malam hari.
Advertisement
Alih Fungsi Lahan
Selain karena musim kawin dan bertelur, faktor lain yang menjadi penyebab konflik antara manusia dan buaya yakni adanya penyempitan habitat.
Ade menyebut hampir di seluruh lokasi terjadinya serangan buaya di Sumbar, kondisi alamnya sudah beralih fungsi menjadi perkebunan dan lahan budidaya lainnya.
Bahkan, sepanjang pinggiran aliran sungai sampai dengan muara sudah ditanami dan akhirnya memaksa buaya untuk berada sepanjang waktu di dalam air.
"Tentunya hal ini mengakibatkan semakin seringnya tingkat perjumpaan buaya dengan manusia," ujarnya.
Selain itu, kebiasaan manusia yang membuang sisa bahan olahan rumah tangga ke sungai dan pinggir pantai atau muara juga diduga ikut berperan menyebabkan buaya muncul.
Adanya pakan yang tersedia berasal dari sisa bahan olahan manusisa seperti sisa potongan ayam, sapi, kambing lainnya yang dibuang ke dalam air menyebabkan buaya terpancing untuk muncul.