Mangrove, Mitigasi Hijau ala Nelayan Teluk Palu dari Hantu Tsunami

Penanaman mangrove dilakukan di sepanjang pantai Kelurahan Panau, Kota Palu yang menjadi salah satu lokasi terdampak tsunami pada tahun 2018 lalu

oleh Heri Susanto diperbarui 12 Apr 2021, 06:00 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2021, 06:00 WIB
penanaman mangrove di Kelurahan Panau Kota Palu
Seorang warga bersama putrinya menanam mangrove di pesisir Kelurahan Panau, Kota Palu, Sabtu (10/4/2021). Aksi tersebut selain sebagai upaya mitigasi dari bencana juga diharapkan meningkatkan hasil tangkap nelayan setempat. (Foto: Dokumentasi KIARA).

Liputan6.com, Palu - Penanaman mangrove dilakukan di sepanjang pantai Kelurahan Panau, Kota Palu yang menjadi salah satu lokasi terdampak tsunami pada tahun 2018 lalu. Mangrove diharapkan juga menjadi mitigasi dan peningkatan ekonomi nelayan.

Penanaman mangrove di sepanjang pantai kawasan timur Kota Palu itu dilakukan oleh nelayan setempat bersama Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Sabtu (10/4/2021).

Sebelum penanaman warga pesisir sudah dilatih membibitkan, menyemai, merawat, hingga memilih jenis mangrove yang cocok ditanam di lokasi itu yakni Tagal dan Apiculata, untuk mencegah gagal tumbuh usai penanaman mangrove seperti sebelumnya.

Rehabilitasi pantai dengan cara itu selain diharapkan mendorong peningkatan tangkapan ikan nelayan setempat, juga sebagai mitigasi jangka panjang untuk meminimalisasi dampak ke warga jika bencana gelombang tinggi terjadi.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Ramah Lingkungan

Sebuah perahu jukung melintas di kawasan mangrove, Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Sebuah perahu jukung melintas di kawasan mangrove, Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menilai mitigasi “hijau” itu lebih ramah terhadap nelayan dan lingkungan dibanding pendekatan yang dilakukan pemerintah pascatsunami di Teluk Palu dengan membangun tanggul laut sepanjang tujuh kilometer.

“Pembangunan Giant Sea Wall tidak hanya berdampak pada lingkungan namun juga perampasan ruang nelayan yang membuat nelayan harus beralih profesi akibat terhambatnya akses mereka terhadap laut. Pembangunan tanggul laut juga tidak mendukung lingkungan yang berkelanjutan,” Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengatakan, Sabtu (10/4/2021).

Di Desa Panau sendiri setelah tsunami pada tahun 2018, warga bersama KIARA telah bergerak untuk ekologi pantai dan laut yang sehat.

Selain belajar tentang mangrove, warga juga sudah membentuk kelompok agar upaya mitigasi berbasis alam itu terus berkelanjutan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya