Bukan Menolak, Warga Sudah Tawarkan 2 Lokasi Alternatif Waduk Lambo tapi Tak Digubris

Pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), mendapat penolakan warga.

oleh Dionisius Wilibardus diperbarui 24 Sep 2021, 11:00 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2021, 11:00 WIB
Ratusan masyarakat adat Dusun Malapoma, Desa Redubutowe, Kecamatan Asesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, NTT, mengadang petugas dan aparat yang hendak melakukan pengukuran tanah untuk lokasi pembangunan waduk Lambo. Foto Istimewah
Ratusan masyarakat adat Dusun Malapoma, Desa Redubutowe, Kecamatan Asesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, NTT, mengadang petugas dan aparat yang hendak melakukan pengukuran tanah untuk lokasi pembangunan waduk Lambo. Foto Istimewah

Liputan6.com, Nagekeo - Ketegangan antara aparat dan masyarakat adat Dusun Malapoma, Desa Redubutowe, Kecamatan Asesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), tak bisa dihindari saat petugas masuk melakukan pengukurun di lokasi pembangunan Waduk Lambo. 

Masyarakat adat dari 3 desa yakni Rendu, Ndora, dan Lambo, Kabupaten Nagekeo, NTT, mencoba mengadang petugas masuk ke wilayah mereka.

“Petugas yang masuk ke lokasi pembangunan Waduk Lambo itu adalah tim Balai Wilayah Sungai (BWS) NT II Kupang dan dari Dinas Pekerjaan umum. Kedatangan mereka juga dikawal ketat oleh aparat Brimob dari Kupang,” kata Willybrodus Bei Ou, warga setempat, Sabtu (19/9/2021)

Ia mengatakan, masyarakat menolak pembangunan waduk karena takut kehilangan lahan pertanian, permukiman penduduk, padang ternak, tempat-tempat ritual, kuburan sarana dan prasarana umum lainnya.

“Masyarakat pernah menawarkan dua lokasi alternatif, yaitu di Lowo Pebhu dan Malawaka. Dalam hal pembangunan waduk masyarakat bukan menolak pembangunan, tetapi masyarakat menyoalkan lokasi pembangunan waduk yang berlokasi di Lowo Se,” ujarnya.

Dikatakannya Kegiatan-kegiatan yang dilakukan BWS dan Pemda dilakukan secara paksa. Kegiatan yang mereka lakukan tanpa sepengetahuan dan izin dari masyarakat terdampak.

Pihaknya menduga, BWS NT II Kupang dan Pemda Nagekeo sudah membohongi masyarakat terdampak dan pemerintah pusat, karena proses yang dilakukan sejak muncul wacana dari tahun 2015 hingga kini tidak pernah transparan.

“Kita menduga bahwa BWS dan Pemda Nagekeo telah merekayasa data pengukuran dan memberikan laporan palsu kepada pemerintah pusat,” ungkap. Sampai saat ini warga masih berjaga-jaga di wilayah tanah adat mereka.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Juga Video Pilihan Berikut:

Ada Hak Masyarakat Adat

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Harian Aman Wilayah Nusabunga Flores Lembata, Philipus Kami, kepada Liputan6.com, Kamis (23/9/2021) mengatakan, terkait pembangunan waduk yang merupakan program strategis nasional, tidak ditolak oleh warga, tetapi sejak tahun 2000-2001 masyarakat menolak lokasi rencana pembangunan waduk dan menawarkan dua lokasi yakni di Malawaka dan lowopebhu.

Dirinya juga mengatakan, di lokasi yang dipertahankan masyarakat adat, terdapat berbagai identitas budaya, padang perburuan adat, gereja, sekolah SMP dan SD, rumah-rumah warga serta lahan pontesial masyarakat adat.

“Sangat tidak benar kalau pemerintah mengabaikan hak-hak kontitusi masyarakat adat yang di atur dalam UUD 1945 pasal 18 b ayat dua(2) dan pasal 28 UUD 1945 sekaligus melanggar hak-hak asasi manusia dari ativiksi ekososbud tentangg hak-hak masyarakat adat internasional,” sebutnya.

Ia juga mengatakan sudah berkali-kali, bahkan sudah disampaikan langsung oleh utusan masyarakat adat kepada Kementrian PUPR pada Agustus 2017 yang lalu di hadapan BWS NT II. Bapak Menteri PUPR mengatakan, jangankan 100 orang, satu warga saja masih tolak waduk tidak jadi dibangun .

“Menjadi pertanyaan masyarakat adat, kenapa BWS NT II tidak peduli dengan pernyataan Mentri PUPR di depan utusan masyarakat adat tersebut?” tegasnya.

 

Rawan Konflik Horizontal

Philipus Kami juga mempertanyakan, siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi konflik horizontal antara masyarakat adat yang menolak dan masyarakat yang setuju, meski tidak punya hak atas tanah adat tersebut.

“Jadi hemat saya kepala Bws NT II diduga tidak aspiratis dan juga tidak menghormati hak-hak masyarakat adat serta tidak menghiraukan pernyataan Menteri PUPR,” ujarnya.

Ia mengatakan, pemerintah yang menjadi salah satu unsur negara, wajib menghormati hak-hak masyarakat adat sesuai dengan hak konstitusinya. Masyarakat adat tidak menolak rencana pembangunan waduk dan memberikan dua lokasi alternatif yakni Malawaka dan Lowo Pebhu .

Philipus juga mengharapkan kepada pihak-pihak terkait untuk menghentikan melakukan tindakan kegiatan rencana pembangunan Waduk Lambo pada lokasi yang ditolak warga yakni Lowo Se.

“Kami berharap agar kepolisian negara dapat mengayomi, melindungi, dan menghormati masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hak-hak atas tanah adat yang juga warisan leluhurnya,” katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya