Liputan6.com, Semarang - Bullying atau perundungan menjadi salah satu masalah global yang perlu mendapat perhatian dari semua elemen masyarakat. Bullying bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sosial hingga dunia maya.
Pelaku dan korban juga bisa siapa saja. Semua orang dari berbagai latar belakang berpotensi menjadi pelaku maupun korban bullying. Terkait dengan potensi setiap individu menjadi korban bullying, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) merilis sebuah program yang bertajuk Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) di tahun 2018.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Hasil riset berdasarkan gender ini menunjukkan anak perempuan dan laki-laki usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan dalam hidup mereka.
Bullying adalah suatu bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara berulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti atau merugikan pihak lain dalam tindakan berulang atau bisa jadi merupakan efek domino dari perilaku tersebut.
Saat ini belum semua orang memahami bahwa ada peran-peran yang mempengaruhi terjandinya tindakan bullying. Jadi pemahaman awal masyarakat bahwa bullying hanya terjadi di antara pelaku dan korban itu bisa ditepiskan dengan melihat siapa dan apa peran mereka dalam lingkaran bullying.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak Video Pilihan Ini:
Siapa dan Apa Peran dalam Lingkaran Bullying
1. Pelaku Bullying atau Pembuli.
Biasanya mereka memulai perilaku agresif terhadap korban bullying yang diincarnya. Beberapa survey mengatakan motivasi pelaku bullying di antaranya karena tidak menyukai korban, sebagai bahan candaan, merasa sudah sewajarnya ia membuli karena semua orang melakukannya. Motivasi lain yakni pelaku pernah menjadi korban bullying dan ketika sudah merasa kuat dia melampiaskan dendamnya terhadap individu yang lebih lemah secara fisik atau mental.
2. Pengikut Pelaku Bullying
Pengikut ini bukan inisiator tetapi hanya meniru apa yang sudah dimulai oleh pelaku bullying. Biasanya motivasinya hampir sama dengan pelaku bullying.
3. Pembuli Pasif
Individu yang berperan sebagai pembuli pasif biasanya berada dalam lingkaran kejadian bullying. Ia mungkin tidak ikut-ikutan melakukan perundungan secara langsung tetapi hanya menertawakan si korban atau hanya melihat seolah mendukung pelaku bullying.
4. Pembuli Potensial
Individu ini menikmati adanya kejadian bullying tetapi tidak menampakkan reaksi apapun di permukaan, tetapi dalam hatinya menganggap bahwa bullying itu adalah hal yang wajar, semua orang pernah melakukannya. Ia tidak menunjukkan dukungan secara terbuka terhadap pelaku bullying maupun mencoba membela korban bullying.
5. Penonton
yang Tidak Mau TerlibatPeran ini adalah individu yang cari aman dan apatis. Ia tak mau terlibat ketika ada perilaku bullying di sekitarnya.
6. Pembela Potensial
Pembela potensial sebenarnya memiliki potensi untuk mencegah terjadinya bullying di sekitarnya, tetapi sayangnya ia tak memiliki niat atau kemampuan bertindak untuk menetralisir atau membela korban bullying.
7. Pembela
Sosok yang disebut pembela yakni individu yang berani menyatakan bahwa tindakan bullying itu keliru. Pembela akan membela korban bullying dan memberikan pemahaman tentang perilaku baik kepada pelaku bullying.
8. Korban Bullying Individu
ini yang menjalani peran ini merupakan sosok yang paling menderita, sebab ia dijadikan sebagai objek perilaku agresif yang merugikan baik secara fisik maupun mental.
Advertisement
Gerakan Anti-bullying Berbasis Sekolah
Saat ini gerakan anti bullying berbasis sekolah secara massif sedang digencarkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) melalui program bernama Roots yang dijalankan bersama dengan UNICEF Indonesia dan mitra lembaga pemerhati pendidikan dan pemerhati anak.
Dilansir dari laman https://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/merdekadariperundungan/ angka perundungan pada remaja usia sekolah terbilang tinggi.
Hasil riset Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menyebutkan sebanyak 41 persen pelajar berusia 15 tahun di Indonesia pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan.
Terlepas dari program antiperundungan yang tengah gencar-gencarnya digalakkan di sekolah-sekolah penggerak di Indonesia, saat ini di kalangan masyarakat awam masih terdapat perdebatan mengenai bentuk-bentuk perilaku bullying.
Masih banyak fakta dan mitos seputar bullying, maka perlu sebuah upaya menyamakan persepsi tentang hal tersebut. Salah satu lembaga pemerhati pendidikan dan anak yang menyebut diri sebagai Komunitas Rumah Kita (Koruki) di Kabupaten Demak diketahui juga terus berupaya menyebarkan kampanye anti perundungan.
Minggu (25/9/2021) Koruki menggelar diskusi dengan remaja usia sekolah terkait perilaku bullying di kalangan remaja. Topik yang dibahas tentang peran dan pelaku dalam lingkaran bullying. Selain itu diskusi yang disampaikan dalam suasana akrab tersebut makin hangat ketika membahas tentang mitos bullying yang paling terkenal yakni ‘Bullying bisa menguatkan mental seseorang’.
Menurut Syalendra (17) peserta didik pada salah satu SMK Negeri di Kota Wali, banyak orang yang menjadi kuat pribadinya setelah sering dibuli.
“Akibat sering dibuli, orang jadi ingin membuktikan bahwa ia mampu menjadi kuat,” ungkapnya.
Pendapat Syalendra tersebut direspons oleh Iqbal (16) yang mengatakan bahwa apapun yang terjadi, bullying selalu merugikan korban. Awalnya para korban pasti sakit hati, minder bahkan menjadi depresi.
“Kalau orangnya kuat ya kuat, tapi kalau yang lemah ya jadi hancur,” tukas Iqbal.