Popokan, Wujud Rasa Syukur dengan Perang Lumpur

Sejak peristiwa tersebut, tradisi popokan atau saling melempar lumpur sawah pun digelar.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 10 Agu 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2022, 18:00 WIB
Kota Lama Semarang
Kota Lama Semarang (sumber: infowisata.semarangkota.go.id)

Liputan6.com, Yogyakarta - Popokan merupakan salah satu tradisi tahunan di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang yang digelar setiap Jumat Kliwon pada Agustus. Tradisi popokan ini hakikatnya merupakan tradisi tasyakuran sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan serta hasil panen yang melimpah.

Konon, tradisi ini berawal ketika Desa Sendang diteror oleh kemunculan seekor harimau yang mengganggu keselamatan warga dan memakan hewan ternak. Berbagai cara dilakukan untuk mengusirnya, termasuk dengan menggunakan senjata, tetapi selalu gagal.

Kemudian, muncul seorang pemuka agama yang menyarankan agar tidak mengusir harimau dengan kekerasan. Warga pun mengikuti saran tersebut dan mengganti cara sebelumnya, yakni melempari raja hutan itu dengan lumpur sawah.

Tak disangka, cara itu pun berhasil untuk mengusir harimau. Sejak peristiwa tersebut, tradisi popokan atau saling melempar lumpur sawah pun digelar dengan tujuan untuk menjauhkan kejahatan dan menolak bala di daerah mereka sekaligus menjadi wujud syukur warga pada Sang Pencipta karena telah diberi keselamatan.

Pada tradisi ini, para warga seolah perang lumpur dengan saling melempari satu sama lain. Selama melakukan ritual ini, warga dilarang marah dan menggunakan emosi.

Popokan menjadi ritual terakhir dari empat rangkaian tradisi yang umumnya digelar dua hari. Sehari sebelum popokan, yakni Kamis sore, laki-laki dewasa di desa tersebut memulainya dengan kerja bakti membersihkan sendang atau sumber mata air. Selanjutnya, warga desa akan membuat tumpeng, yakni nasi berbentuk gunungan dengan berbagai sayur dan lauk, termasuk ingkung ayam.

Pada rangkaian ini, para lelaki duduk melingkar, lalu membaca doa yang dipimpin modin. Setelahnya, tumpeng diarak bersama replika macan menuju area persawahan yang bakal menjadi medan 'perang lumpur'.

Selama prosesi ini, mereka juga membuat pagelaran seni. Tumpeng yang diarak kemudian dibawa ke balai desa dan didoakan.

Setelahnya, warga akan saling berebut tumpeng untuk mendapatkan berkah dari doa-doa yang dilantunkan pemuka agama setempat. Terakhir, rangkaian ditutup dengan ritual popokan.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Saksikan video pilihan berikut ini:

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya