Liputan6.com, Yogyakarta - Salah satu kisah pahlawan perempuan yang kuat dan penuh tekad adalah Cut Nyak Dhien. Ia merupakan pahlawan dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Ia mengungsi setelah wilayah VI Mukim diserang, sementara suaminya, Ibrahim Lamnga, bertempur melawan Belanda. Pada pertempuran tersebut, suaminya gugur.
Berada di tengah keinginannya untuk terus berperang, gugurnya Ibrahim Lamnga membuat Cut Nyak Dhien juga harus menerima kenyataan pahit tersebut. Kesedihan sudah pasti dirasakannya, tetapi ia memiliki kegigihan lebih besar untuk terus berjuang.
Advertisement
Baca Juga
Kejadian kehilangan tersebut justru menyeret perempuan keturunan bangsawan itu semakin teguh dan lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda. Dua tahun kemudian, dia menikah dengan Teuku Umar sebagai akses kembali ke medan perang.
Saat itu, Cut Nyak Dhien bersedia menerima pinangan Teuku Umar dengan syarat ikut berperang bersama di medan perang. Sepak terjang Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar pun menggetarkan Belanda.
Tragisnya, Cut Nyak Dhien harus kembali merasakan kehilangan. Teuku Umar gugur dalam pertempuran pada 1899.
Sosok Cut Nyak Dhien yang gigih pun tak ingin berlama-lama dalam kesedihan. Sebaliknya, ia justru semakin sengit memerangi Belanda.
Ia berjuang sendiri di garis depan dengan ditemani pasukan kecilnya. Meski keinginan berperangnya cukup menggebu, tetapi faktor usia menghambat ruang geraknya, seperti encok dan rabun.
Tak tega dengan kondisi Cut Nyak Dhien, pasukannya pun melaporkan keberadaannya pada Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh untuk diberikan perawatan.
Saat perlahan mulai pulih, ia dianggap masih memiliki pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh karena masih terkoneksi dengan para pejuang Aceh yang masih belum tertangkap.
Ia pun diasingkan di Sumedang hingga tutup usia pada 6 November 1908. Cut Nyak Dhien diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soekarno lewat SK Presiden RI No. 106 Tahun 1964.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak