Liputan6.com, Jakarta - Sayup-sayup suara tangisan bayi memecah keheningan magrib di kebun pisang di Kampung Cijengkol, Desa Pringkasap, Kecamatan Pabuaran, Subang, Jawa Barat. Seorang petani yang baru pulang dari sawahnya terperanjat. Awalnya ia mengira itu suara kucing, namun saat didekati, ada bayi terbungkus plastik dengan tali pusar masih menempel. Usai penemuan itu, si petani langsung melapor ke warga dan perangkat desa. Dari situ, laporan diteruskan ke Polsek Pabuaran.
Dari keterangan warga sekitar, polisi menaruh curiga terhadap seorang remaja perempuan berusia 15 tahun berinisial MY. Tak butuh waktu lama, dari hasil interogasi, MY mengakui bahwa dirinyalah yang membuang bayi malang tersebut. Dari pengakuannya, bayi itu merupakan hasil hubungan di luar nikah dengan sang pacar, pria berinisial ARY (20). Usai diamankan polisi, keduanya terancam 9 tahun penjara. Penangkapan itu membuat sang bayi malang harus tumbuh tanpa kedua orangtua, dia sementara dirawat bidan desa, entah sampai kapan.
Advertisement
Kasus pembuangan bayi bukan kali ini terjadi di Indonesia, catatan Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, dari data tahun 2020 hingga medio 2021, ada sebanyak 212 kasus pembuangan bayi yang masuk menjadi laporan. Mirisnya, sebanyak 80 persen dari jumlah bayi yang dibuang ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Sekitar 20 persen lainnya beruntung dalam kondisi masih hidup, sekalipun dikerumuni lalat dan semut saat ditemukan.
Advertisement
Ketua KPAI Arist Merdeka Sirait mengatakan, maraknya kasus pembuangan bayi disebabkan banyaknya anak-anak muda yang hamil di luar nikah dengan berbagai alasan, mulai dari hubungan pacaran yang tidak direstui keluarga, hingga alasan yang paling klise: pembuang bayi mengaku belum siap menjadi orangtua dengan segala keruwetannya.
Lantas mengapa mereka berani melakukan hubungan seks di luar nikah? Sebelum jauh menghakimi dan terjerembab menjadi polisi moral, ada baiknya melihat aktualisasi budaya dewasa ini. Penetrasi westernisasi melalui beragam media dan sikap permisif masyarakat modern, membuat apa yang dahulu dianggap tabu dan tidak boleh sekarang menjadi boleh. Traveling berduaan ke Bali bersama sang pacar, misalnya, kini sudah biasa. Adegan ranjang dan eksploitasi tubuh perempuan kerap mewarnai media sosial kita. Indekos campur kini sangat mudah ditemui di sekitaran kampus. Sejurus dengan itu, norma-norma baru pun berkembang, sekarang pacar laki-laki bisa masuk ke kamar, bukan lagi menunggu di ruang tamu ditemani bapak, seperti adegan film tahun 1990-an saat si pria wakuncar (waktu kunjung pacar) di malam minggu.
Di tengah situasi permisif itu ditambah komersialisasi seks yang makin merajalela di berbagai media dan kontrol sosial yang kian melemah, dorongan seks anak-anak muda menjadi makin liar dan tidak terkendali. Banyak penelitian yang menyebut, proporsi besar hubungan seks pertama di luar nikah adalah dorongan seketika yang tidak direncanakan sebelumnya. Di momen ini, tabu perihal kondom seharusnya ambyar, dia lebih dulu tergerus situasi permisif dan seks yang terus dikomersialisasikan. Membicarakan kondom seharusnya bukan lagi suatu hal yang tabu, tapi sudah bergeser menjadi sebuah solusi.
Itu juga yang membuat sutradara sekaligus komika Ernest Prakarsa gusar. Melalui akun Twitternya, Ernest mencurahkan isi hatinya. Dia heran menjurus bingung dengan masyarakat Indonesia yang selalu ribut saat ada pembagian kondom. Padahal, kata Ernest, selain mampu mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, kondom juga berfungsi melindungi seseorang dari penularan beragam penyakit seksual, termasuk HIV/ AIDS.
“Kenapa ya, di Indonesia ini setiap ada pembagian kondom itu langsung jadi ribut. Padahal selain kehamilan, itu bisa mencegah berbagai infeksi seksual termasuk HIV. Emang sihhhh lebih aman lagi kalo engga ngeseggs sama sekali di luar pernikahan, tapi apa iya realitanya gitu?” tulis Ernest dalam akun Twitternya @ernestprakasa, Senin (26/9/2022).
Pada cuitan selanjutnya, Ernest memberikan data WHO yang menyebut sebanyak 37,5 persen kehamilan di Indonesia adalah kehamilan yang tidak direncanakan. “Gokil ya, lebih dari sepertiga. Udah gitu kasus HIV sampe Juni 2022 juga udah tembus angka 500 ribuan. Makin yakin Pendidikan segggs dan kondom gak penting?” tulis Ernest lagi.
Di akhir cuitannya soal kondom, Ernest memberikan pandangannya, menurut dia alat kontrasepsi jangan dimiskonsepsi, tapi dieksekusi. “Anak muda kudu makin pinter lahh. Yuk ah kita saling menjaga biar lebih aman!” katanya.
Menghapus Stigma Negatif
Keberadaan kondom di masyarakat kita memang ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi kondom menjadi alat yang efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit kelamin, namun di sisi lain kampanye kondom bagi sebagian orang masih dianggap jalan melegalkan perilaku seks bebas di kalangan remaja. Kalimat Ernest, “alat kontrasepsi jangan dimiskonsepsi” dalam cuitannya, kemungkinan besar mengkritisi kalangan yang masih menganggap kondom adalah propaganda untuk melegalkan seks. Stigma negatif kondom itu membuat masyarakat ‘alergi’ sekaligus takut dan malu saat ingin membeli kondom, bahkan dikasihkan gratis pun banyak yang menolak karena takut terkena label sebagai pelaku seks bebas.
Seksolog Dr Boyke saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (28/9/2022) mengatakan, memang butuh waktu untuk menghapuskan stigma negatif soal kondom di masyarakat Indonesia. Karena masih banyak orang Indonesia yang mengasosiasikan kondom sebagai ‘cara berzina dengan aman’.
"Padahal masalah berzina tergantung pada keimanan seseorang, sedangkan seks yang aman berkaitan dengan kesehatan diri dan pasangan. Misal dalam mencegah kehamilan, mencegah penularan IMS (Infeksi Menular Seksual), dan mencegah penularan pada pasangan," katanya.
Dr Boyke mengkritisi sikap kebanyakan orang Indonesia yang selalu mengaitkan kondom dengan stigma, padahal penggunaan kondom untuk mencegah kehamilan sudah biasa di negara-negara lain, apalagi sekarang ada keuntungan lain dari penggunaan kondom, yakni mencegah IMS.
"Jangan sampai si laki-laki berzina terus membawa penyakit ke istrinya. Memang paling baik urutan ABC, A (abstenensia), B (be faithful alias setia), C (condom), artinya kondom baru digunakan jika si laki-laki tidak mampu menahan hubungan seks dan tidak bisa setia pada pasangan," kata Boyke.
Kekhawatiran Dr Boyke soal penyebaran IMS sangat beralasan, pasalnya paradigma HIV misalnya, kini sudah berubah. Jika dahulu HIV/AIDS diidentikan dengan penyakit orang-orang yang berperilaku seks menyimpang, seperti homoseks dan pekerja seks komersial, kini tidak setiap penderita HIV/AIDS adalah orang dengan perilaku seks menyimpang. Di tengah perkembangan budaya dan perubahan zaman itu, pandangan kaum konservatif yang menilai cara menghindari HIV/AIDS dengan berhenti bergaya hidup barat, tentu sudah tidak berketerima.
Kini saatnya orang Indonesia membuka mata, memang pelacuran, perselingkuhan, hamil di luar nikah, homoseks, sudah terjadi sejak dulu di masyarakat kita. Satu-satunya cara menyelamatkan mereka, yang tidak berdosa, dari kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual, adalah dengan menanamkan kesadaran pentingnya memakai kondom saat berhubungan seks, atau yang lebih aman, meminjam istilah Ernest, ‘engga ngesegggs sama sekali di luar pernikahan’. Jika tidak bisa, akan makin banyak bayi yang terbunuh tabu.
Advertisement