Liputan6.com, Palangka Raya - Tenggiling atau trenggiling merupakan mamalia bersisik satu-satunya dari famili Pholidota. Satwa ini mempunyai permukaan kulit yang bersisik dari kepala, ekor hingga kukunya. Hewan ini tidak memiliki gigi dan hanya mengandalkan moncong serta lidah yang lengket dalam memangsa makanan seperti serangga kecil, semut dan telurnya, rayap, serta larva.
Terdapat delapan spesies tenggiling di seluruh dunia, di mana salah satunya yaitu Manis javanica. Sebagaimana namanya, spesies ini tentu saja dapat ditemui di hutan-hutan Pulau Jawa dan Kalimantan, Sumatra, serta sebagian Nusa Tenggara.
Ketika pandemi virus corona mulai marak pada awal April 2020, berdasarkan hasil penelitian South China Agricultural University (SCAU), satwa ini sempat dicurigai sebagai inang perantara dari kelelawar kepada manusia.
Advertisement
Tenggiling dewasa umumnya memiliki berat tubuh hingga 12 kilogram (kg), sementara tenggiling jantan berukuran tubuh lebih besar dari betinanya. Satwa ini memilii keunikan karena mampu menggulung tubuhnya mirip seperti bola saat dirinya merasa terancam.
Dalam kondisi terdesak dan tak sempat menggulung diri, seekor tenggiling akan berjuang sekuat tenaga melawan musuhnya dengan mencakar lawan atau mengibaskan ekor besarnya sekuat tenaga. Ekor besarnya yang kuat kerap digunakan untuk menggelayut pada dahan pohon.
Bahkan, sebagai satwa yang aktif berburu pada malam hari, tenggiling memilih tidur pada siang harinya di lubang dalam tanah. Hewan ini membentuk sarang dalam tanah dengan menggali lubang hingga membentuk terowongan. Panjang galian dapat mencapai 8 meter dan memiliki percabangan yang berliku-liku sebagai strategi untuk mengelabui mangsa apabila terdesak.
Profesor Gono Semiadi, pakar biologi LIPI mengatakan, masa kehamilan tenggiling betina sekitar 90-139 hari, dengan masa sapih sekitar empat bulan dan mencapai usia dewasa sekitar dua tahun.
“Tenggiling terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang hidup dominan secara terestrial (di permukaan tanah) dan lainnya dominan arboreal (bergerak di atas pohon). tenggiling jantan cenderung bersifat soliter (sendiri) dan aktif mencari betina saat musim kawin tiba," kata Gono.
Ancaman paling besar bagi satwa bersisik ini adalah manusia. Meski populasi tenggiling di alam liar belum terdata, tenggiling merupakan mamalia yang paling banyak diburu. Sepanjang 10 tahun terakhir saja, berdasarkan data Wildlife Conservation Society (WCS) sebanyak 26.000 ekor tenggiling asal Indonesia diselundupkan ke Tiongkok.
Bahkan berbagai cara dilakukan oleh para pemburu untuk mendapatkan tenggiling, mulai dari memakai jasa anjing pemburu terlatih hingga memasang jerat. Sisik tenggiling menjadi incaran para pemburu karena bernilai jual sangat tinggi, dihargai hingga USD5 per keping sisik tenggiling.
Untuk mendapatkan 1 kilogram sisik dibutuhkan 4 ekor tenggiling dewasa. Sisiknya menjadi bahan baku obat kanker, obat bius, dan bahan baku narkoba di Negeri Panda. Daging tenggiling dipercaya mengandung protein tinggi dan bisa dijadikan obat sakit perut.
Padahal tenggiling termasuk satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018. Sanksi hukuman bagi para pemburu satwa dilindungi pun tidak ringan karena diancam hukuman 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta.
Sedangkan di dalam Konvensi Perdagangan Internasional Satwa Dilindungi atau CITES, tenggiling sudah dimasukkan ke dalam kategori Appendix 1. Artinya, tenggiling tidak boleh diperjualbelikan melalui pengambilan di alam secara langsung.
Lembaga konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga telah menetapkan status hewan itu dalam kategori kritis (critically endangered/CR) yang berarti selangkah menuju kepunahan di alam liar.
Seiring dengan itu semua, pemerintah saat ini sedang menyusun strategi rencana konservasi bagi tenggiling. Hal terseut dilakukan untuk menyelamatkan hewan tersebut dari kepunahan.
Â