Wumbungo, Tarian Adat Warisan Budaya Tak Benda yang Sempat Jadi Kontroversi

Umumnya, tarian ini dilengkapi dengan suara gendang serta nyanyian.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 22 Des 2022, 05:00 WIB
Diterbitkan 22 Des 2022, 05:00 WIB
Ilustrasi objek wisata Pulo Cinta, Gorontalo
Ilustrasi objek wisata Pulo Cinta, Gorontalo. (Photo by Filippo Cesarini on Unsplash)

Liputan6.com, Gorontalo - Wumbungo atau dayango merupakan salah satu tari kreatif milik masyarakat Gorontalo. Tarian ini dikembangkan oleh masyarakat setempat dan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) sejak 2016 lalu.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, awalnya wumbungo merupakan jenis tari tradisional yang dibawakan saat upacara pemujaan roh-roh halus, yakni pemujaan setan dan jin. Upacara tersebut dilaksanakan oleh kalangan masyarakat tertentu, terutama bagi mereka yang masih tinggal jauh di pedesaan.

Hingga saat ini, tarian di kalangan tersebut masih hidup dan berkembang. Secara umum, wumbungo diartikan sebagai tarian pemujaan terhadap roh-roh halus.

Saat menari, sekujur tubuh para penarinya akan gemetar. Hal tersebut diakibatkan kerasukan roh-roh halus.

Dalam bahasa Gorontalo, kondisi orang-orang tersebut disebut 'ma wumbu-wumbungo'. Dari sanalah nama wumbungo disematkan pada tarian ini.

Tarian adat ini boleh dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Umumnya, tarian ini dilengkapi dengan suara gendang serta nyanyian.

Adapun peralatan yang digunakan, meliputi pakaian tari, kain pengikat kepala, dan kain pengikat pinggang. Gerak tarian pada wumbungo biasanya mengikuti iringan ketukan gendang.

Sementara itu, perubahan tari atau komposisinya bergantung pada isi, bentuk, serta maksud dari tarian tersebut. Biasanya, tarian ini dilakukan secara berkelompok dan berpasangan yang terdiri dari pria dan wanita berjumlah delapan orang atau lebih.

Menurut tulisan 'Kala Dayango Jadi Tradisi "Keagamaan" Masyarakat Gorontalo' oleh Arief Abbas, fenomena dayango atau wumbungo sebenarnya berpotensi menjadi bagian dari 'tradisi keagamaan' masyarakat Gorontalo. Mengutip karya JGF Riedel (1862), berdasarkan hikayat (tujai), kata dayango memiliki arti menari.

Tarian ini dipraktikkan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan dan tumbuh bersama kehidupan masyarakat setempat. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait tradisi ini dalam karya Riedel.

Namun, jika merunut dari latar belakang Riedel yang merupakan seorang Kristen taat dan anak dari seorang penginjil, bisa saja Riedel juga mengasumsikan dayango sebagai praktik animisme. Sementara itu, dalam konteks masyarakat muslim Gorontalo, dayango merupakan suatu praktik yang seringkali disebut berlawanan dengan Islam.

Pasalnya, dayango sama sekali tidak pernah ditemukan di dua korpus besar dalam Islam, yakni Al-Qur'an dan Hadis. Alhasil, ketika praktik dayango hendak dilakukan, tidak sedikit orang-orang yang berusaha menghentikannya.

Meski demikian, keberadaan dayango atau wumbungo sebagai suatu tradisi dan adat istiadat, memang berkaitan erat dengan keagamaan. Tarian ini masih dilakukan masyarakat setempat hingga saat ini.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Saksikan video pilihan berikut ini:

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya