Disbun: 160.000 Hektare Sawit Jambi Masuk Kawasan Hutan

Dinas Perkebunan Provinsi Jambi melansir, dari 1,1 juta hektare perkebunan kelapa sawit, di antaranya 160.000 hektara berada di kawasan hutan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 28 Agu 2023, 11:59 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2023, 02:00 WIB
Sawit Jambi
Pekerja mengangkut TBS sawit milik perusahaan di Tanjung Jabung Barat, Jambi. (Liputan6.com/gresi plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Jambi Agusrizal menyebut sekitar 160.000 hektare perkebunan kelapa sawit di provinsi ini berada di kawasan yang sebenarnya adalah areal hutan. Kondisi tersebut menyebabkan tutupan hutan di provinsi berjuluk "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah" itu menjadi berkurang.

"Masih banyak (sawit di kawasan hutan). Itu kewenangan sebenarnya ada di Dinas Kehutanan," kata Agusrizal ditemui usai Pertemuan Multipihak Menuju Sawit Berkelanjutan yang Dapat Bersaing di Pasar Global yang diselenggarakan kerja sama Kaoem Telapak dan Yayasan Setara di Jambi, Rabu (23/8/2023).

Dinas Perkebunan setempat mencatat luas lahan perkebunan sawit di Provinsi Jambi mencapai 1,1 juta hektare. Dari luasan ini sekitar 1,1 juta itu Agusrizal memperkirakan seluas 160.000 ribu masuk areal hutan.

Namun Agus, tak merinci dari luasan kebun sawit yang masuk kawasan hutan ini apakah kebun sawit perusahaan atau sawit masyarakat.

"Ini adalah angka perkiraan yang penting untuk diperhatikan dalam upaya menjaga keseimbangan antara produksi dan lingkungan," kata Agusrizal.

Dalam konteks sawit di kawasan hutan, Agusrizal menyampaikan pandangannya yang tegas. Hal ini menggambarkan komitmen untuk menjaga ekosistem hutan yang sangat penting bagi keberlanjutan alam.

"Sebaiknya kita hindari produksi kelapa sawit di dalam kawasan hutan karena dampak merusak yang mungkin timbul," tegasnya.

Untuk memastikan sawit tidak merusak dan tidak mengurangi luas kawasan hutan, menurut dia, harus ada gerakan bersama. Saat ini dia bilang, pemerintah sudah membuat rencana aksi nasional kelapa sawit berkelanjutan.

Begitu pula di Provinsi Jambi kata Agus, sudah terbentuk gugus tugas. Tim tersebut yang akan bekerja untuk menjaga kelapa sawit yang dihasilkan sesuai dengan aturan dan tata kelola berkelanjutan.

"Kita harus membuktikan bahwa setiap proses produksi komoditi unggulan kita harus diikuti dengan mematuhi aturan yang berlaku," ujar dia.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Transparansi Data

Sawit Jambi
Seorang pekerja sedang duduk di atas kapal yang bersandar hendak memuat kelapa sawit di Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Komoditas kelapa sawit di Jambi menjadi isu yang strategis. Selain, sebagai penopang perekonomian daerah, komoditi yang benama ilmiah Elaeis itu dirundung isu negatif karena sebagai penyebab alif fungsi hutan, kebakaran lahan, dan kerusakan lingkungan.

Eko Wahyudi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi mengatakan, kelapa sawit tak hanya dirundung penyebab deforestasi. Tetapi sawit juga, terutama yang berekspansi di kawasan gambut menyebabkan lahan basah itu terdegradasi.

Tak sedikit kebun sawit yang mengalami kebakaran hutan dan lahan hingga menyebabkan bencana kabut asap. Tata kelola kelapa sawit yang buruk justru akan memperparah daya dukung dan daya tampung lingkungan yang semakin rusak.

"Memang sudah ada inisitaif untuk memperbaiki tata kelola sawit, tapi belum maksimal," kata Eko dalam diskusi tersebut.

Dia menilai, misalnya saat ini soal data Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit yang masih sulit diakses. Dalam memperbaiki tata kelola sawit menurut dia, dibutuhkan transparansi data.

Kemudian masalah lain yang lebih mengkhawatirkan adalah soal konflik lahan. Masyarakat seringkali berhadapan dengan perusahaan sektor kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang memiliki kekuatan modal dan keamanan.

Hal ini tercermin dari masih tingginya konflik lahan di Jambi. Menurut data Walhi Jambi, selama tahun 2017 hingga 2022, terdapat setidaknya 162 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Provinsi Jambi dan menempatkan provinsi ini dengan kasus konflik paling tinggi kedua di Indonesia.

"Data HGU masih menjadi kendala dan pemerintah tidak pernah transparan soal data. Kemudian kelompok tani sawit rakyat masih sulit membangun kemitraan yang menguntungkan, dan konflik tenurial semakin banyak dan kompleks," ujar Eko.

Sementara itu, Direktur Yayasan Setara Nurbaya Zulhakim menyoroti peran penting pemerintah dan perusahaan. Dia melihat peran mereka sebagai pemimpin dalam membentuk arah industri kelapa sawit sangat dibutuhkan.

Dalam kerjasama yang erat, pemerintah dan perusahaan dapat mendukung inisiatif yangmendukung keberlanjutan, termasuk peningkatan kualitas praktik pertanian dan upaya sertifikasi.Nurbaya Zulhakim berharap bahwa kolaborasi yang solid antara pemerintah, perusahaan, danpetani dapat menciptakan perubahan yang signifikan dalam industri kelapa sawit.

"Dengan langkah-langkah yang konkret dan komitmen nyata, Provinsi Jambi dapat memimpin perjalanan menuju praktik pertanian yang lebih baik, yang berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan dan perekonomian regional," kata Nurbaya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya