Liputan6.com, Bandung - Sudah tiga hari ini, buruh perempuan asal Kota Cimahi, Rianty Marlina, tak pulang ke rumah. Janda usia 50 tahun itu terpaksa meninggalkan dua anaknya, sebab harus berjuang menuntut hak pesangon.
Rianty Marlina tidur di tenda protes yang didirikan dari terpal seadanya di depan gerbang PT Sokolancar/Bapintri. Di pabrik tekstil itu, Rianty telah menghabiskan umurnya selama 28 tahun sebagai buruh.
Baca Juga
Pada 2022, PT Sokolancar diaku alami krisis. Kemudian, Rianty bersama sejumlah buruh lainnya dijadikan tenaga kerja yang diperbantukan atau dialihkan ke pabrik se-grup dengan manajemen dan pemilik yang masih sama, PT Bapintri.
Advertisement
Empat bulan lalu, tanggal 17 September 2023, Rianty Marlina bersama 73 buruh lainnya di-PHK sepihak. Pemutusan hubungan kerja itu diberitahukan kepada mereka hanya selang tiga hari sebelum tanggal penetapan PHK. Perusahaan berdalih bahwa PT Sokolancar kini berhenti beroperasi.
Namun, perusahaan diduga enggan membayar pesangon secara penuh sesuai ketentuan undang-undang. Perusahaan kabarnya hanya sudi membayar tak lebih dari setengahnya saja, kabar lain menyebutkan kurang dari setengahnya, itu pun dicicil selama 2 tahun.
Buruh pun menuntut pembayaran pesangon secara penuh. Selama empat bulan ini, buruh sudah menempuh bipartit hingga tripartit, tapi terus mentok. 'Aksi tidur' di depan gerbang yang dilakukan puluhan buruh sejak 26 Maret 2024 pun jadi bagian puncak unjuk rasa mereka.
Hingga berita dituliskan, Liputan6.com telah mencoba menemui pihak perusahaan untuk meminta konfirmasi. Namun, menurut pengakuan sekuriti pabrik, tak ada perwakilan manajemen yang bisa ditemui.
Â
Pontang-Panting
Saat ditemui di tenda unjuk rasa, Rianty Marlina tengah menyiapkan makanan buka puasa bersama buruh-buruh perempuan lain. Selama tiga hari, bahan makanan berbuka dan sahur dikumpulkan dari patungan anggota dan pemberian orang sekitar.
"Kami di rumah bertiga. Yang satu anak saya umur kelas 5 SD, satunya lagi 20 tahun," kata dia saat dijumpai Kamis petang, 28 Maret 2024.
"Harapan saya semoga bisa cepat mendapatkan pesangon, saya gak mau berlarut ninggalin anak di rumah berdua. Mereka sahur dan buka tidak tahu sama apa," katanya.
Mereka yang turun aksi diketahui adalah anggota Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).
Setelah di PHK, buruh-buruh mengaku tak punya penghasilan tetap atau malah tak ada pemasukan sama sekali. Hidup mengandalkan sisa gaji bulanan yang diirit sebisa-bisanya.
Sebagian lain, banting kerja jadi ojek dadakan atau berjualan. Lainnya, hidup bergantung pada hutang, pada pemberian tetangga atau keluarga.
"Makan sehari-hari juga susah, kalau dapat pesangon kan bisa ada pegangan walaupun tidak semua dihabiskan, sisanya bisa ditabung. Kami merasa bukan mau mewah-mewah, kami sudah jalani hidup seadanya dari dulu juga," kata Rianty Marlina.
"Katanya, yang punya (pabrik) malah ke luar negeri. Belum ketemu sejak pandemi. Dia katanya di Singapura," imbuhnya.
Di umurnya yang sekarang, mencari kerja dirasa sudah sangat sulit. Pabrik-pabrik lebih memilih calon buruh yang jauh lebih muda. Hal demikian juga dirasakan oleh Achmad Sukirman, 44 tahun.
"Gimana ya, saya juga bingung, umur sudah lebih dari 40 tahun, melamar juga sudah susah. Iya paling hidup dari sisa tabungan," katanya.
Achmad menuntut perusahaan mengikuti aturan tenaga kerja yang berlaku. "Kemarin kan perusahaan ingin sesuai mekanisme undang-undang, sudah kami ikutin pergi ke dinas (Dinas Tenaga Kerja), katanya menunggu anjuran dari dinas. Sekarang anjuran sudah keluar tetap saja mereka tidak mau mengikuti".
Ketua serikat tingkat pabrik, Tatang Hermawan mengakui, aparat kepolisian sempat meminta aksi buruh dibubarkan. Tetapi buruh bertahan dan menegaskan bahwa yang membuat keonaran itu bukanlah buruh, tapi perusahan yang tak mau membayar pesangon sesuai aturan.
"Kita harus patuh sesuai undang-undang, sesuai aturan. Kita juga bekerja sesuai UU, masa ketika kita keluar dari perusahaan tidak sesuai UU. Dengan kata lain, kalau tidak patuh UU, ya, ngapain ada aturan, kalau gitu mah udah seenak perusahaan sendiri aja," katanya.
Â
Advertisement
Tetap Berjuang
Siti Eni, Koordinator PC FPPB KASBI Kota Cimahi menegaskan, pada dasarnya kondisi yang dialami buruh di Cimahi ini merupakan buntut dari Undang-Undang Cipta Kerja. Aturannya dinilai membuka peluang bagi perusahaan untuk melakukan PHK sepihak dengan tanggung jawab biaya yang murah.
"Kita melakukan aksi ini sebenarnya tak lebih dari menuntut hak normatif sesuai aturan. Kawan-kawan ini mendapatkan penderitaan akibat UU Cipataker, namun perusahaan masih tetep minta kortingan atau tetep akan dipangkas dari anjuran yang diberikan Dinas Tenaga Kerja," katanya.
Menurut Eni, aksi mereka di PT Sokolancar/Bapintri menjadi penting, akan turut jadi tolok ukur perjuangan buruh khususnya di Kota Cimahi, umumnya di Indonesia. Ketika buruh melakukan perlawanan, sejatinya itu jadi upaya membuka lawang perubahan.
Dengan perlawanan, perubahan itu belum tentu terjadi. Apalagi jika tak berjuang sama sekali. Eni mengingatkan, sejarah pekerja adalah sejarah perlawanan.
"Selama 4 bulan kami tidak dibayar, tidak mendapatkan uang proses. Selama 4 bulan nasib kami digantung," katanya. "Hari ini adalah semacam bagian test case yang kemudian bisa saja berimbas ke selanjutnya. Perlawanan ini akan menjadi tolak ukur untuk kawan-kawan lain," imbuhnya.
Untuk itu, Eni menegaskan, mereka akan terus berupaya memperjuangkan hak buruh agar mendapatkan pesangon secara penuh dan layak.
"Berjuang jadi bentuk syukur atas hidup yang telah diberikan. Kalau tidak (berjuang) perusahaan akan semena-mena. Buruh jangan hanya menangis, tapi lakukan perlawanan," kata Eni.