Mengenal Tradisi Mekare-kare Masyarakat Bali

Hingga kini, tradisi mekare-kare masih dilestarikan dan dilaksanakan masyarakat Tenganan sebagai persembahan kepada Dewa Indra.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 24 Apr 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2024, 00:00 WIB
Ilustrasi Bali, salah satu keindahan alam di Indonesia. (Feepik/tawatchai07)
Ilustrasi Bali, salah satu keindahan alam di Indonesia. (Feepik/tawatchai07)

Liputan6.com, Bali - Mekare-kare atau upacara perang pandan adalah upacara persembahan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) dan para leluhur. Upacara ini dilaksanakan pada Juni setiap tahunnya.

Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat di Desa Tenganan. Desa ini masuk ke dalam salah satu desa tua di Bali dan biasa disebut Bali Aga.

Mengutip dari dapobas.kemdikbud.go.id, mekare-kare diadakan selama dua hari. Tradisi ini sekaligus menjadi bagian dari upacara sasih sembah, yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.

Tradisi ini umumnya dilaksanakan di depan balai pertemuan yang ada di halaman desa mulai pukul 14.00 waktu setempat. Semua warga yang mengikuti tradisi ini akan menggunakan pakaian adat Tenganan berupa kain tenun pegringsingan. Sementara untuk para pria hanya mengenakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju (bertelanjang dada).

Dalam pelaksanaannya, perang menggunakan alat atau senjata berupa pandan berduri yang diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada. Untuk perisainya terbuat dar anyamani rotan.

Setiap pria yang mulai beranjak remaja di desa tersebut wajib mengikut tradisi mekare-kare. Selain berbagai persiapan, juga akan disiapkan panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi dengan tinggi sekitar 1 meter tanpa tali pengaman yang mengelilingi panggung.

Sebelum dimulai, tradisi ini akan diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan. Selanjutnya diadakan ritual minum tuak di dalam bambu yang dituangkan ke daun pisang sebagai pengganti gelas.

Peserta perang akan saling menuangkan tuak ke daun pisang peserta lain. Kemudian, tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang ke samping panggung.

Sebelum dimulai, seorang pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, selanjutnya dua pemuda akan bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai di tangan kiri.

Akan ada seorang penengah layaknya wasit yang berdiri di antara dua pemuda ini. Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu pun saling menyerang.

Mereka akan memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Setelahnya, mereka berpelukan dan saling memukul punggung lawan dengan daun pandan dan menggeretnya. Dari bentuk penyerangan itu pula beberapa orang menyebut tradisi ini dengan megeret pandan.

Untuk menambah kemeriahan, gamelan akan ditabuh dengan tempo cepat. Pertandingan tersebut tidak berlangsung lama, hanya kurang dari satu menit.

Setelah pertandingan selesai langsung disambung dengan pertandingan lain. Ini dilakukan bergilir kurang lebih selama tiga jam.

Nantinya, semua luka gores akibat pertandingan akan diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit. Konon, ramuan itu sangat ampuh untuk menyembuhkan luka.

Tradisi ini dilakukan dengan ikhlas dan gembira, tanpa ada yang kesakitan, menangis, menyesal, bahkan marah. Perang pandan ditutup dengan bersembahyang di Pura setempat dilengkapi dengan persembahan tari rejan. Hingga kini, tradisi mekare-kare masih dilestarikan dan dilaksanakan masyarakat Tenganan sebagai persembahan kepada Dewa Indra.

 

Penulis: Resla

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya