Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat selama sepekan. Hal itu didorong penguatan saham-saham unggulan.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, seperti ditulis Sabtu (12/5/2018), IHSG mampu bergerak perkasa dengan naik 2,8 persen pada pekan ini (periode 4 Mei-11 Mei 2018). IHSG sempat anjlok pada pekan lalu kembali berbalik arah ke posisi 5.900. Pada penutupan perdagangan saham Jumat 11 Mei 2018, IHSG menguat ke posisi 5.956,83.
Saham-saham kapitalisasi besar yang masuk indeks saham LQ45 atau saham likuid mampu naik 4,5 persen. Hal itu menopang penguatan IHSG.Sementara itu, saham kapitalisasi kecil mampu reli menjelang akhir pekan ini.
Advertisement
IHSG meski mampu menanjak, investor asing masih jual saham.Tercatat aksi jual investor asing mencapai USD 183 juta atau sekitar Rp 2,55 triliun (asumsi kurs Rp 13.956 per dolar Amerika Serikat) di pasar saham pada pekan ini.
Baca Juga
Sedangkan indeks BINDO menunjukkan pasar obligasi atau surat utang melemah 1,9 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasipemerintah bertenor 10 tahun naik 20 basis poin menjadi 7,2 persen. Aksi jual pun terjadi di pasar obligasi. Tercatataksi jual obligasi mencapai USD 706 juta atau sekitar Rp 9,85 triliun. Posisi rupiah pun berada di kisaran Rp 13.960 per dolar AS.
Ada sejumlah faktor pengaruhi pergerakan pasar keuangan global termasuk IHSG pada pekan ini. Dari eksternal, terutama ASpengaruhi pasar komoditas usai Presiden AS Donald Trump umumkan AS akan keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran.Selain itu memberlakukan kembali sanksi-sanksi terhadap Teheran.
Ia mengatakan, kesepakatan pada era Obama gagal menahan ambisi nuklir dan campur tangan regional. Penarikan kembali ASmengedepankan janji kampanye Trump untk guncang kesepakatan nuklir Iran 2015 yang semula bergabung denganenam kekuatan dunia. Berdasarkan kesepakatan itu, Iran mengurangi program nuklirnya.
Usai pengumuman tersebut, harga minyak dunia naik menjadi USD 71,4 per barel pada pekan ini. Harga minyak tembus USD 70per dolar AS itu untuk pertama kali dalam empat tahun karena kekhawatiran kendala pasokan.
Kedua, dari Malaysia. Politikus veteran Malaysia, Mahathir Mohamad telah menjadi pemimpin tertua di dunia usai kemenanganmengejutkan dalam pemilihan di Malaysia. Kemenangan pemilu yang diraih Mahathir Mohamad telah timbulkan kekhawatiran kalau janji populisnya dapat merusak ekonomi pada saat yang semakin menantang untuk pasar negara berkembang. Namun sisi lain juga ada harapan Mahathir Mohamad dapat hidupkan kembali pendekatan yang berani terhadap manajemen ekonomi.
Dari internal, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,06 persen padakuartal I 2018. Angka ini di bawah konsensus pasar di kisaran 5,18 persen. PDB tersebut juga turun 0,42 persen dibandingkankuartal IV 2017.
Pertumbuhan PDB didorong subsidi rumah tangga dan modal. Pertumbuhan PDB naik 8,09 persen secara year on year (yoy) dan 0,97 persensecara kuartalan. Sedangkan modal tumbuh 7,95 persen YoY dan kuartalan minus 4,86 persen. Hal ini menunjukkan meski konsumsi rumah tangga melambat, anggara pemerintah untuk subsidi membantu mendorong pertumbuhan pada kuartal I 2018.
Kemudian Bank Indonesia (BI) juga melaporkan cadangan devisa tercatat USD 124,9 miliar pada April 2018. Cadangan devisaturun USD 1,1 miliar dari posisi Maret 2018 sebesar USD 126 miliar. Ini menunjukkan intervensi BI diperkirakan sekitar USD 5 miliar pada April 2018 untuk stabilkan rupiah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Potensi Penyesuaian Suku Bunga Acuan BI
Lalu apa yang perlu dicermati ke depan?
Salah satu jadi pertanyaan kapan suku bunga acuan Bank Indonesia akan naik? Pertanyaan ini mengemuka seiring nilai tukar rupiahmelemah terhadap dolar Amerika Serikat dan aliran dana investor asing keluar sejak Februari 2018.
Sementara itu, investor asingtampaknya berbalik arah dengan masuk ke pasar keuangan pada beberapa hari terakhir. Namun, Ashmore masihmengemukakan pertanyaan apakah BI masih harus menaikkan suku bunga di tengah kekhawatiran global? Ada sejumlah banyakargumen untuk menaikkan suku bunga daripada tidak:
1.Rupiah jika melemah lebih lanjut mungkin kembali tekan pertumbuhan ekonomi. Ini terjadi pada 2013 ketika rupiah melemah 40 persen.Meskipun ini bukan skenario dasar, BI mungkin tidak ingin bertaruh melawan pemulihan ekonomi saat ini.
2. Kebijakan kenaikan suku bunga mungkin tidak dapat diterjemahkan dengan langsung menaikkan suku bunga pinjaman. Namun,perusahaan Indonesia kurang memanfaatkan dan karena pertumbuhan laba perusahaan mungkin tidak tertandingi.
3. Suku bunga global akan berada tren naik. Sementara saat ini, bank sentral AS menaikkan suku bunga. Kemungkinanbank sentral Inggris dan bank sentral Eropa akan ikuti pada akhirnya. Sementara itu, ada argumen untuk tetap pertahankansuku bunga.
4. Kepemilikan investor asing pada saham Indonesia telah capai nilai terendah dalam 10 tahun pada Maret 2018.Diperkirakan tekanan berlanjut pada April-Mei 2018. Oleh karena itu, Indonesia dapat berada di ujung tekanan jual.
5. Kenaikan suku bunga dapat memperlambat untuk memulihkan ekonomi.
6. Inflasi Indonesia tetap terkendali pada April 2018. Ini memungkinkan valuasi investasi menarik.
Adapun BI akan adakan pertemuan pada pekan depan. Berdasarkan pernyataan BI baru-baru ini adakemungkinan suku bunga naik.
"BI memiliki banyak ruang untuk menyesuaikan tingkat suku bunga. Respons kebijakan ini akan dilaksanakansecara konsisten dan memastikan keberlanjutan stabilian," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo.
Pernyataan BI itu berpotensi meredam pasar dengan penguatan rupiah di bawah 14.000 per dolar AS. Namun,kami tidak kesampingkan kenaikan suku bunga.
Advertisement