Liputan6.com, Jakarta - Sejak awal April 2025, dunia dikejutkan dengan kebijakan perdagangan yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kepala negara Adidaya ini mengumumkan penerapan tarif impor resiprokal atau timbal balik terhadap sejumlah negara.
Mengutip CNN, Jumat (11/4/2025), Donald Trump mengklaim, tarif impor itu "setengah" dari tarif yang dikenakan negara lain kepada AS jika memperhitungkan manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Seraya memastikan jika kenaikan tarif tersebut akan mampu menumbuhkan ekonomi AS. "Tidak semua orang sependapat. Tarif akan memberi kita pertumbuhan,” ujar dia.
Advertisement
Langkah Donald Trump menerapkan tarif resiprokal membuat sejumlah negara mengambil sikap untuk menghadapi AS. Lobi-lobi kepala negara kepada Trump pun terjadi.
Donald Trump mengklaim bahwa banyak negara menghubunginya dan "menjilat... sangat ingin membuat kesepakatan" setelah ia melancarkan perang tarif yang telah menjungkirbalikkan perdagangan global.
Meskipun tidak menyebutkan nama negara mana saja, ia mengatakan bahwa mereka meneleponnya dan berkata, "tolong, tolong, Tuan, izinkan saya membuat kesepakatan. Saya akan melakukan apa saja. Saya akan melakukan apa saja, Tuan."
Pernyataan Trump disampaikan di tengah latar belakang ekonomi berupa kerugian pasar yang tajam dan kekhawatiran akan resesi akibat pemberlakukan tarifnya.
Penundaan 90 Hari
Saat dunia menyoroti, secara mengejutkan Donald Trump mengumumkan untuk menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari bagi sejumlah negara. Namun, ini tidak berlaku untuk China.
Dalam unggahan di media sosial, dia mengaku telah mengesahkan jeda tarif atau menunda selama 90 hari untuk lebih dari 75 negara yang telah berupaya bernegosiasi dengan AS sejak paket kebijakan 'Hari Pembebasan' diumumkan.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengaku, Trump menunda sementara tarif timbal balik untuk sebagian besar mitra dagang terbesar negara itu, tetapi tetap memberlakukan pungutan 10% pada hampir semua barang impor. "Jangan membalas, dan Anda akan diberi imbalan," katanya, dikutip dari The Guardian.
Saling Serang AS dan China
Di Asia, China salah satu negara yang kena tarif resiprokal yang tinggi mencapai 54%. Langkah Pemerintah AS menerapkan tarif tinggi ke China bukan tanpa alasan.
Mengutip BBC, perdagangan barang antara AS dan China mencapai USD 585 miliar pada 2024. AS mengimpor lebih banyak dari China yang mencapai USD 440 miliar.
Sedangkan China mengimpor barang dari AS sebesar USD 145 miliar. Dengan demikian, AS harus rela mengalami defisit perdagangan dengan China. Selisih barang yang diimpor dan diekspor mencapai USD 295 miliar.
Situasi kian memanas antara AS dan China yang terus saling "serang" tarif. Pemicunya, Trump yang mengumumkan kembali untuk menunda tarif impor baru kepada sejumlah negara mitra dagang AS, kecuali China.
China memutuskan membalas tarif AS. Di mana kini, AS menerapkan tarif impor 145% kepada China dan China memberlakukan tarif impor 125%.
“Bahkan jika AS terus mengenakan tarif yang lebih tinggi, itu tidak akan lagi masuk akal secara ekonomi dan akan menjadi lelucon dalam sejarah ekonomi dunia,” tulis Komisi Tarif Bea Cukai China, dikutip dari CNBC, Jumat (11/4/2025).
"Jika AS terus mengenakan tarif atas barang-barang China yang diekspor ke AS, China akan mengabaikannya,” katanya.
Trump menanggapi langkah China dengan mengatakan melalui akun media sosialnya di platform Truth Social, "CHINA SALAH LANGKAH, MEREKA PANIK - SATU HAL YANG TIDAK BOLEH MEREKA LAKUKAN.,” demikian.
Advertisement
Arti Jeda Tarif bagi Ekonomi Global
Meski Donald Trump menjeda penerapan tarif kepada sejumlah negara, tetapi langkah ini disebut masih berdampak terhadap ekonomi global.
Sebagian besar ekonom menilai, apapun kebijakan AS, merupakan perubahan besar dalam kebijakan perdagangan AS yang akan mempengaruhi ekonomi global.
Mengutip BBC, jeda penerapan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara bisa menjadi suatu kelegaan, terutama negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada ekspor barang manufaktur ke AS.
Misalkan Vietnam. Ekspor ke AS setara dengan 30 persen dari Vietnam dan ada kekhawatiran tarif 46 persen akan menjerumuskan Vietnam ke dalam resesi. Namun, Vietnam dan negara lain akan tetap membayar tarif minimum baru sebesar 10 persen, sedangkan sebelumnya banyak negara yang hadapi tarif jauh lebih rendah.
Bebani Ekonomi Global
Perang dagang AS dengan China akan menimbulkan beban ke depan. Hal ini mengingat kontribusi dua negara raksasa itu terhadap ekonomi global.
Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memprediksi China dan AS akan menyumbang sekitar 43 persen ekonomi global pada 2025. Perlambatan ekonomi di China dan AS akan berdampak negatif pada sebagian besar negara lain.
Ekonom memperingatkan dampak ketidakpastian tambahan yang diciptakan Donald Trump akan semakin merusak ekonomi dunia dengan menahan investasi perusahaan.
Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan perang dagang, antara China dan AS telah terjadi sejak lama. Namun, skalanya masih dalam perang dingin yang memuncak usai Presiden AS menerapkan tarif resiprokal secara drastis.
"Cold trade war istilahnya. Itu saja sudah membuat pertumbuhan ekonomi global terganggu sekitar 1 persen. Kalau ini dilebarkan sampai ke seluruh dunia itu bisa sampai lebih dari 3 persen, pertumbuhan ekonomi global akan terdisrupsi," kata Ronny dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).
Dia mengatakan, ekonomi global tetap akan terdampak meski tarif resiprokal itu ditunda selama 90 hari ke depan. Lantaran, AS dan China sama-sama sebagai negara kunci perdagangan internasional. Negara lain yang bergantung pada ekspor juga akan ikut menanggung dampaknya, termasuk Indonesia.
"Sehingga sekalipun ditunda ke negara-negara lain selain Cina, tetap pertumbuhan ekonomi global akan terdisrupsi, yang akan berpengaruh kepada negara-negara yang memang sangat bergantung kepada international trade, perdagangan internasional. Negara-negara terutama negara-negara yang punya orientasi ekspor atau export oriented countries, termasuk Indonesia," tutur dia.
Senada, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menyampaikan maju-mundur kebijakan tarif resiprokal Donald Trump menimbulkan ketidakpastian ekonomi global. Hal ini terlihat pada skema perdagangan internasional berbagai negara.
"Jadi saya kira belum ada perubahan dari yang kemarin dengan sekarang, walaupun Trump mengatakan mereka akan mengubah atau menunda penerapan tarif selama 3 bulan ke depan, tapi landscape dari perdagangan global itu akan, saya kira ini tetap akan terjadi perubahan dan ketidakpastian itu masih sangat tinggi," jelas Piter kepada Liputan6.com.
Ubah Peta Perdagangan China dan AS
Piter menuturkan, dampak perang tarif itu akan berdampak pada perdagangan negara-negara lain dengan China maupun AS. Dia menuturkan, sudah menjadi tujuan utama Donald Trump agar negara-negara mitra mengubah neraca dagangnya.
"Demikian juga dengan negara-negara lain yang selama ini menjadi supplier bagi China. Karena tingkat produksi dari China pasti akan turun, demikian juga dengan Amerika," ungkapnya.
Beberapa negara diketahui sudah mulai negosiasi untuk mengubah neraca dagang dengan AS. Seperti Indonesia, negara lain juga akan meningkatkan impor dari Amerika Serikat sebagai upaya menyeimbangkan neraca dagang.
"Ini berarti surplus atau neraca perdagangan Amerika dengan banyak negara itu akan berubah. Impor dari Amerika itu akan meningkat, demikian juga dengan Indonesia," urainya.
"Indonesia bahkan Pak Prabowo mengatakan sudah tidak ada lagi batasan kuota impor dan sebagainya. Itu artinya kita sudah siap mengarah kepada perdagangan yang lebih defisit nantinya. Ini tentunya akan sangat menekan meraca perdagangan maupun current market," jelas Piter.
Di sisi lain, Pengamat hubungan internasional sekaligus Pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja melihat langkah ini bukan hanya sebagai strategi politik, tetapi sebagai serangan sistematis terhadap tatanan ekonomi global.
Ia menilai, dalam kebijakan tarif tersebut, tak ada lagi garis tegas antara strategi ekonomi dan niat hegemonik. "Menurut saya, kita sedang menyaksikan perang terbuka antara Amerika dan China. Bukan perang fisik, tapi sama destruktifnya," kata Dinna saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).
Dinna menyebut pendekatan ini sangat tidak adil bagi negara berkembang. "Trump dan pemerintahannya tidak membedakan negara maju dan berkembang. Dipukul rata semua," tambahnya.
Meski beberapa pihak di AS menyebut kebijakan tarif impor AS sebagai bagian dari strategi negosiasi, Dinna tidak sepakat.
"Kalau dibilang strategi negosiasi, menurut saya terlalu simplistis. Karena nggak ada bedanya perlakuan terhadap negara berkembang dan negara maju,” ucapnya.
Kebijakan tersebut, menurutnya, hanya berujung pada satu hal: tekanan. AS menyatukan semua proposal negosiasi dari berbagai negara, namun enggan membuka transparansi terkait kesepakatan apa yang bisa dicapai. Bahkan, Trump sudah menegaskan bahwa penghapusan tarif tidak akan terjadi.
"Paling-paling dikurangi, tapi tidak dihapus," katanya.
Advertisement
Dunia Bisa Resesi?
Mengutip laman DW, Jumat (11/4/2025), pekan lalu, JPMorgan memprediksi peluang terjadinya resesi global mencapai 60 persen pada akhir tahun. Angka ini lebih tinggi dari sebelum pengumuman tarif Trump yang mencapai 40 persen.
"Kenaikan tarif sejak dimulainya pemerintahan Trump kini merupakan kenaikan pajak AS terbesar dalam hampir 60 tahun," kata ekonom bank tersebut dalam sebuah catatan minggu lalu.
"Hal ini akan berdampak langsung pada pengeluaran rumah tangga dan bisnis serta efek berantai melalui pembalasan, penurunan sentimen bisnis, dan gangguan rantai pasokan."
Dalam catatan riset Deutsche Bank memperingatkan kalau Trump menggandakan kebijakan tarif baru akan berdampak yang sangat besar pada 2025 dan tahun berikutnya.
Asia dinilai terpukul jauh lebih keras daripada Eropa. Hal ini seiring pungutan lebih dari 40% pada beberapa negara utama yang mendorong negara antara lain Vietnam, Taiwan, dan Indonesia bernegosiasi untuk capai kesepakatan perdagangan baru dengan AS.
Adapun India yang sekarang menghadapi pungutan sebesar 26% atas ekspor ke AS tidak berencana membalas tarif Trump. India dengan cepat memangkas beberapa tarif atas impor AS.
Sementara itu, impor dari Uni Eropa ke AS menghadapi pungutan sebesar 20%. Komisi Eropa menuturkan, bea masuk terhadap barang dari AS akan mulai dipungut pada tahap pertama tarif impor berlaku mulai 15 April dengan serangkaian tindakan kedua menyusul pada 15 Mei.
ABN Amro, salah satu bank Belanda memangkas prospek ekonomi untuk negara anggota Uni Eropa. ABN Ambro perkirakan, pertumbuhan kuartalan blok itu akan berkisar di sekitar nol dengan kemungkinan besar kuartal tersebut negatif.
Kondisi Indonesia
Prediksi serupa juga datang dari dalam negeri. Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengakui jika ekonomi global saat ini menunjukkan kecenderungan yang tidak seragam atau divergent.
Data ekonomi dari AS menunjukkan performa yang berada di bawah ekspektasi pasar, sementara Eropa dan China justru mencatatkan kinerja ekonomi yang melampaui ekspektasi sebelumnya.
"Perekonomian global cenderung divergent seiring rilis data perekonomian Amerika Serikat yang berada di bawah ekspektasi, sementara di Eropa dan Tiongkok justru di atas ekspektasi sebelumnya," kata dia.
Namun demikian, volatilitas di pasar keuangan global masih tinggi. Ketidakpastian kebijakan ekonomi yang terus berlanjut, ditambah dengan meningkatnya risiko geopolitik, menjadi pendorong utama dari fluktuasi pasar yang terus berlangsung hingga awal 2025.
Mahendra menuturkan, OECD merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2025 menjadi 3,1%, dan lebih rendah lagi menjadi 3% pada 2026.
Revisi ini disebabkan oleh peningkatan hambatan perdagangan global serta kebijakan ekonomi yang tidak pasti di berbagai negara utama.
Tidak hanya itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun turut direvisi oleh OECD menjadi 4,9% pada 2025, seiring dengan tren perlambatan global.
Meski demikian, Mahendra menegaskan, penurunan tersebut masih tergolong wajar dan sejalan dengan kinerja ekonomi negara-negara berkembang lainnya, baik di kawasan Asia maupun luar kawasan.
"Namun penurunan itu masih sejalan dengan perbandingan peer countries ataupun negara-negara berkembang di kawasan dan di luar kawasan kita," ujarnya.
Indonesia Harus Melakukan Apa?
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Anggawira, melihat Indonesia perlu memperkuat pasar domestik hingga UMKM di tengah ancaman perang dagang saat ini.
Itu perlu dilakukan di tengah potensi eksodus produk-produk dari China, Thailand hingga India ke pasar Indonesia. Imbas ancaman tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, meskipun pengenaannya untuk Indonesia ditunda 90 hari.
"Pemerintah perlu mendorong kampanye Bangga Buatan Indonesia yang lebih konkret, bukan sekadar slogan. Insentif bagi belanja pemerintah dan BUMN terhadap produk lokal harus diprioritaskan," ujar Anggawira kepada Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).
Selain itu, mendorong adanya transformasi UMKM. Terlebih UMKM jadi tulang punggung perekonomian nasional, dengan sumbangan lebih dari 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Namun sayangnya, mayoritas masih informal dan belum digital. Pemerintah dan dunia usaha harus mempercepat digitalisasi UMKM, akses ke pembiayaan yang murah, serta pelatihan peningkatan kualitas produk dan branding," pintanya.
"Kita butuh UMKM naik kelas, bukan hanya bertahan," dia menegaskan.
Hal senada dikatakan salah satu orang terkaya Indonesia yakni Pengusaha Hermanto Tanoko. Ia menilai, ada potensi barang dari China dan India masuk ke Indonesia seiring perang tarif.
Namun, Hermanto melihat ekonomi Indonesia tidak akan terlalu berdampak terhadap perang tarif antara AS dan China. Hal ini didukung dari ekonomi Indonesia bertumbuh dan inflasi yang rendah.
"Saya yakin ekonomi Indonesia masih bagus. Jadi kalau perang dagang, saya melihat terhadap Indonesia tidak terlalu berdampak,” kata dia.
Hermanto menilai, Donald Trump merupakan negosiator ulung dan diperkirakan ada kesepakatan. Dengan ada perang tarif, Hermanto mendorong agar masyarakat lebih memilih memakai produk dalam negeri sehingga dapat memajukan produk lokal. Hal ini akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Produk pakaian, makanan, sepatu, dan produk lainnya (Indonesia-red) itu perlu didukung sehingga akan perkuat ekonomi Indonesia,” kata dia.
Advertisement
