Saham Apple hingga Amazon Rontok, Wall Street Tertekan

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks saham Nasdaq melemah 3 persen ke posisi 13.116,17.

oleh Agustina Melani diperbarui 19 Mar 2021, 05:41 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2021, 05:41 WIB
Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Reaksi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Saham teknologi mendorong bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street tertekan pada perdagangan saham Kamis, 18 Maret 2021. Hal ini seiring imbal hasil obligasi AS yang meningkat sehingga dorong investor melakukan aksi jual saham.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks saham Nasdaq melemah 3 persen ke posisi 13.116,17. Pelemahan indeks saham ini terburuk sejak 25 Februari 2021. Saham Apple, Amazon dan Netflix turun lebih dari tiga persen. Saham Tesla melemah hampir tujuh persen.

Indeks saham S&P 500 susut 1,5 persen ke posisi 3.915,46. Indeks saham S&P 500 turun dari level tertinggi. Indeks saham Dow Jones merosot 153,07 poin atau 0,5 persen ke posisi 32.862,30 setelah sentuh posisi tertinggi intraday.

Imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun naik 11 basis menjadi 1,75 persen, dan sentuh level tertinggi sejak Januari 2020. Imbal hasil obligasi AS bertenor 30 tahun menguat enam basis poin menjadi 2,5 persen, untuk pertama kali sejak Agustus 2019.

Imbal hasil obligasi AS menguat setelah the Federal Reserve membiarkan inflasi bergerak naik. Di sisi lain kenaikan suku bunga dapat berdampak terhadap saham karena mengurangi valuasinya.

“Risiko kenaikan suku bunga terlalu cepat menjadi kunci perhatian,” ujar Technical Market Strategis Piper Sandler, Craig Johnson dilansir dari CNBC, Jumat (19/5/2021).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Saham Bank Menguat dan Energi Turun

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Saham bank mencatat kinerja lebih baik seiring suku bunga lebih tinggi sehingga meningkatkan margin keuntungannya. Bank dapat memperoleh lebih banyak dari selisih yang semakin lebar antara suku bunga jangka pendek dan jangka panjang.

Saham US Bancorp dan Wells Fargo masing-masing naik 3,3 persen dan 2,4 persen. Saham JP Morgan melonjak 1,7 persen, sedangkan Bank of America naik 2,6 persen.

Investor juga mencerna beragam data ekonomi pada Kamis pekan ini. Klaim pengangguran berjumlah 770 ribu hingga 13 Maret 2021. Angka ini lebih buruh dari perkiraan 700 ribu, berdasarkan ekonom yang disurvei oleh Dow Jones.

Sementara itu, indeks manufaktur Philadelphia Federal Reserve menunjukkan angka 51,8. Angka ini melebihi konsensus Dow Jones di 22, dan mencapai level tertinggi untuk indeks tersebut sejak 1973.

Sektor saham energi alami penurunan terbesar dengan susut 4,7 persen di tengah penurunan harga minyak. Harga minyak berjangka WTI turun lebih dari tujuh persen menjadi US$ 60 per barel. Harga minyak turun lima hari berturut-turut dan mengalami hari terburuk sejak September.

Hasil Rapat FOMC

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Steven Kaplan (tengah) saat bekerja dengan sesama pialang di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Indeks saham Dow Jones ditutup di atas 33.000 untuk pertama kalinya pada Rabu pekan ini setelah bank sentral AS atau the Federal Reserve mengatakan tidak akan menaikkan suku bunga hingga 2023.

Ketua the Fed Jerome Powell menegaskan kembali, bank sentral AS ingin melihat inflasi secara konsisten di atas target dua persen dan meningkatan di pasar tenaga kerja AS sebelum mempertimbangkan perubahan suku bunga dan pembelian obligasi bulanannya.

“Dengan mengatakan bahwa mereka bersedia membiarkan inflasi menjadi panas pada saat kekhawatiran inflasi meningkat adalah cara lain bagi the Fed untuk mengatakan bahwa mereka bersedia membiarkan suku bunga jangka panjang naik lebih lanjut,” ujar Chief Market Strategist Miller Tabak, Matt Maley.

Bank sentral AS atau the Fed meningkatkan prospek ekonominya, mengharapkan untuk melihat produk domestik bruto (PDB) tumbuh 6,5  persen  dan inflasi naik 2,2 persen pada 2021. Inflasi tersebut yang diukur dengan pengeluaran konsumsi pribadi. Bank sentral AS bertujuan menjaga inflasi dua persen dalam jangka panjang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya