DPR Usul Cukai Hasil Tembakau Naik Tipis, Intip Gerak Saham HMSP hingga GGRM

Berikut gerak harga saham emiten rokok termasuk saham HMSP hingga GGRM pada sesi pertama, Kamis, 12 September 2024.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 12 Sep 2024, 13:10 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2024, 13:10 WIB
DPR Usul Cukai Hasil Tembakau Naik Tipis, Intip Gerak Saham HMSP hingga GGRM
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dinaikan sebesar 5% pada 2025 dan 2026. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dinaikan sebesar 5% pada 2025 dan 2026. Kenaikan tarif itu lebih rendah dari kenaikan tahun 2023 dan 2024 yang rata-rata 10%.

Sementara, DPR merekomendasikan kenaikan terbatas pada CHT jenis sigaret kretek tangan (SKT) pada 2025 dan 2026, dengan pertimbangan penyerapan tenaga kerja. Kenaikan CHT ini dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari CHT dan membatasi kenaikan CHT pada jenis sigaret kretek tangan (SKT) untuk mendorong penambahan penyerapan tenaga kerja.

"Kenaikan tarif CHT yang lebih rendah ke depan berpotensi menjadi angin segar bagi industri rokok yang terbebani kenaikan tarif yang tinggi secara terus menerus dalam beberapa tahun terakhir," mengutip Tim Riset Stockbit Sekuritas, Kamis (12/9/2024).

Merespons kabar tersebut, harga saham HM Sampoerna Tbk (HMSP) dan Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) masing-masing menguat 2,72% dan 2,05% pada Rabu, 11 September 2024. Sementara Gudang Garam Tbk (GGRM) turun tipis 0,16%.

Pada penutupan perdagangan sesi pertama, Kamis, 12 September 2024, harga saham GGRM melemah 0,16 persen ke posisi Rp 16.025 per saham. Harga saham HMSP stagnan di posisi Rp 755 per saham. Harga saham WIIM merosot 0,50 persen ke posisi Rp 990 per saham.

Selain CHT, DPR juga mengusulkan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) minimum sebesar 2,5% pada 2025 dan akan secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai 20%. Usulan DPR tersebut berbeda dengan rancangan yang beredar sebelumnya, di mana tarif cukai MBDK yang dipertimbangkan adalah Rp 1.771 per liter, sejalan dengan rata–rata tarif cukai MBDK di negara–negara Asia Tenggara.

"Penerapan tarif cukai MBDK yang bertahap berpotensi memberikan kelegaan (relief) bagi perusahaan konsumer untuk dapat beradaptasi dalam upayanya menjaga volume permintaan dan atau profitabilitas. Sebab, wacana tarif cukai MBDK sebelumnya sebesar Rp 1.711 per liter dikhawatirkan akan memicu peningkatan harga jual yang signifikan untuk mengkompensasi beban cukai," tulis riset Stockbit Sekuritas.

Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Cukai Rp 300 Triliun Terancam Hilang

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengkritik wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek atau plain packaging bagi produk tembakau, seperti rokok.

Aturan yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai turunan dari PP 28 Tahun 2024 ini dinilai tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga merugikan kepentingan nasional.

Misbakhun menjelaskan bahwa rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerapkan kemasan polos bagi produk rokok akan berdampak langsung pada negara, terutama dari sisi perekonomian, di mana cukai hasil tembakau (CHT) saat ini diklaim menyumbang hingga Rp 300 triliun kepada negara.

"Dampak ekonomi yang signifikan ini justru terabaikan oleh para pemangku kebijakan. Rokok menyumbang Rp 300 triliun kepada negara setiap tahunnya, ini sangat signifikan untuk anggaran nasional kita," ujarnya dalam pernyataan tertulis, Kamis (12/9/2024).

Abaikan Kepentingan Petani

Ia juga mempertanyakan bagaimana kebijakan kemasan rokok polos tersebut bisa dipertimbangkan untuk masuk dalam RPMK. Padahal kebijakan ini jelas mengabaikan kepentingan petani dan pedagang yang bergantung pada industri hasil tembakau.

Misbakhun mengkritik proses pembahasan kebijakan ini yang didorong oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), kesepakatan beberapa negara sebagai bentuk pengendalian tembakau.

"Yang mengganggu itu FCTC. Mereka inilah yang melakukan determinasi global. Mereka disponsori oleh Bloomberg Philanthropies, yang selalu melihat rokok dalam konteks negatif," tegasnya.

Menurut dia, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan seharusnya berani mengambil sikap untuk melindungi petani dan pedagang yang bergantung pada industri tembakau.

 

 

 

Pertanyakan Dukungan Pemerintah

Ilustrasi Tembakau Rokok
Ilustrasi Tembakau Rokok. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Misbakhun juga menyoroti bahwa petani tembakau dan cengkih tidak pernah mendapatkan alokasi anggaran khusus dari pemerintah untuk mendukung kesejahteraan mereka, seperti insentif pupuk atau pestisida.

"Kita sering lupa mempertimbangkan aspek ekonomi. Negara mendapatkan pendapatan besar dari cukai tembakau, namun tidak ada dukungan konkret bagi sektor ini," ungkapnya.

Ia menilai kebijakan kemasan polos tanpa merek tidak akan efektif mengurangi konsumsi rokok, bahkan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal yang merugikan negara.

 

Prabowo-Gibran Diminta Tak Naikkan Tarif Cukai Rokok pada 2025

Ilustrasi Berhenti Merokok (Sumber: Freepik)
Ilustrasi Berhenti Merokok (Sumber: Freepik)

Sebelumnya, masa transisi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran sejatinya bisa menjadi momentum untuk mendengar aspirasi rakyat terkait peningkatan kesejahteraan dan penyediaan lapangan kerja.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang. Maka, para pekerja dan petani di industri tembakau dari sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) menyampaikan permohonan kepada pemerintah untuk melindungi keberlangsungannya, terutama dari rencana kenaikan cukai 2025.

Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) Jawa Barat, Ateng Ruchiat, mendorong agar tidak ada kenaikan cukai rokok di tahun 2025, terutama di segmen SKT yang merupakan sektor padat karya.

Ia menekankan pentingnya mempertahankan sektor SKT agar penyerapan tenaga kerja di daerah maupun nasional dapat tetap terjaga di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan tidak pasti.

“Kalau (kenaikan cukai rokok) disamakan seperti tahun-tahun kemarin, itu kan berat. Padahal, SKT itu sudah membantu pemerintah dalam menanggulangi masalah pengangguran. Kalau bisa, tidak ada kenaikan cukai ke depannya untuk SKT,” pintanya.

Pengaruh kenaikan cukai SKT, lanjutnya, berdampak pada keberlangsungan perusahaan atau pabrikan SKT sehingga turut berpengaruh pada kesejahteraan pekerja. “Kalau tidak PHK, ya nanti kenaikan upahnya yang akan jadi masalah,” terangnya.

Ateng menambahkan pihaknya akan sangat berterima kasih kepada pemerintahan baru apabila tidak ada kenaikan cukai SKT pada 2025. “Sangat penting bagi pemerintah baru untuk mempertimbangkan aspirasi kami ini, karena SKT memiliki penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak,” jelasnya.

 

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya