Liputan6.com, Jakarta [SPOILER ALERT! Ulasan ini mengandung bocoran inti cerita.]
Koba: "Ape not kill ape."
Caesar: "You are not ape."
   —dari adegan Dawn of the Planet of the Apes—
Jika Anda meyakini Teori Evolusi, Anda pasti paham manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang yang sama. Sekitar tujuh juta tahun lalu, berkembang suatu spesies mirip kera yang mampu bergerak secara bipedal, tegak. Antara tujuh dan dua juta tahun lalu banyak kera bipedal bermunculan.
Advertisement
Di antara makhluk bipedal itu muncul satu spesies yang, antara tiga dan dua juta tahun lalu, berkembang dengan ukuran otak yang lebih besar. Di sinilah asal muasal genus homo, cabang pohon silsilah manusia yang tumbuh melalui Homo erectus yang akhirnya berevolusi menjadi kita, Homo sapiens.
Pada akhirnya wujud manusia dan kera sangat berlainan. Tingkat intelegensia kera dan manusia pun sangat jauh. Manusia menciptakan kehidupan dan peradaban di Bumi, sedang kera ya hanya menjadi bagian dari kerajaan binatang (animal kingdom).
Sebagai penguasa kehidupan di Bumi, manusia merasa berhak menggunakan segala sumber daya alam—termasuk memanfaatkan binatang—untuk menunjang kehidupan. Meski kera tidak didomestifikasi (istilah untuk menyebut pemanfaatan binatang pada kehidupan, seperti sapi, kuda, atau babi), manusia umumnya memanfaatkan kera sebagai binatang tontonan, atau yang kemudian dilakukan Amerika Serikat di masa Perang Dingin di tahun 1950-an dan 1960-an saat perlombaan menjelajahi antariksa dengan Uni Soviet: menjadikan kera sebagai binatang percobaan sebelum pesawat antariksa aman digunakan manusia.
Franchise Planet of the Apes yang aslinya diangkat dari novel Prancis karya Pierre Boulle berjudul La Planète des Singes mengangkat latar belakang dunia penjelajahan antariksa. Film Planet of the Apes pertama yang rilis tahun 1968 berkisah tentang sekelompok astronot yang pesawatnya terdampar di sebuah planet asing. Di planet itu sistem sosial yang berlaku kera menjadi penguasa kehidupan, sedang manusia menjadi budak yang diperlakukan bak binatang.
Melihat kera-kera menjadi objek percobaan di laboratorium, sineas asli Planet of the Apes berandai-andai bagaimana jadinya bila keadaannya terbalik: kera yang menjajah manusia.
Premis itu terbukti jitu. Buktinya, `Planet of the Apes` melahirkan sejumlah sekuel, sebuah novel lagi, komik, serial TV, remake, reboot, dan kini sekuel dari reboot.
***
Pasca remake `Planet of the Apes` dari Tim Burton rilisan 2001 yang gagal, Hollywood melakukan reboot alias buat ulang franchise ini mulai dari awal: bagaimana asal muasalnya kera bisa menguasai planet Bumi dan kelak menjadikan manusia sebagai budaknya?
Hasilnya adalah Rise of the Planet of the Apes yang rilis 2011. Di film itu kita melihat kelahiran Caesar, kera yang bisa berkomunikasi dan memiliki kecerdasan setara manusia. Menjelang akhir film, serum yang membuat Caesar pintar, juga menghinggapi kera-kera lain. Di akhir film, kita melihat Caesar dan kawanan kera memisahkan diri dari manusia, tinggal di hutan.
Film reboot pertama hanyalah sebuah awalan. Masih banyak yang harus diceritakan untuk sampai kepada keadaan kehidupan di Bumi seperti yang diandaikan Planet of the Apes, ketika manusia dijajah kera.
Syahdan, tahun 2014 kita bertemu sekuel Rise, Dawn of the Planet of the Apes. Kali ini kita beranjak lebih jauh menuju penjajahan manusia atas kera. Alkisah, tak lama pasca film Rise berakhir, dunia diserang virus ganas yang dikenal Simian Flu. Hingga akhirnya sepuluh tahun kemudian virus itu menyapu setengah populasi manusia Bumi. Hanya kera dan manusia yang imun terhadap virus tersebut yang bertahan hidup.
Kita melihat kera hidup damai di dalam hutan di pinggir kota San Francisco. Sampai akhirnya kawanan kera pimpinan Caesar bertemu dengan sekelompok manusia.
Di sinilah konflik antara manusia dan kera tak terhindarkan.
***
Bagaimana konflik manusia dengan kera bermula?
Dawn yang disutradarai Matt Reeves (Cloverfield, 2008) sebetulnya mengambil kisah klasik tentang ketakutan pada yang lain, sang liyan, atau yang berbeda di luar dirinya.
Akar konflik antara manusia dengan kera yang sudah cerdas berawal sebagaimana banyak konflik yang terjadi di dunia nyata yakni menganggap golongan yang berbeda sebagai ancaman.
Ketidakharmonisan hubungan dua kelompok berbeda dimulai dengan rasa saling curiga, kekhawatiran kalau pihak yang lain akan melumat golongan sendiri. Konflik macam begini sudah beribu tahun terjadi. Perang antar suku dan antar agama terus terjadi dari dulu hingga sekarang. Jagad sinema pun sudah kerap mengangkat tema ini, mulai dari Dances with Wolves hingga Avatar.
Lewat `Dawn`, kita bisa mengidentikkan diri baik pada golongan manusia dan kera. Di titik ini, kera dan manusia yang berkonflik atas dasar perbedaan sejatinya adalah metafora untuk konflik di antara manusia yang dilatari perbedaan suku, agama, atau golongan.
Pertanyaan yang diajukan film `Dawn` bukan lagi bagaimana jadinya bila manusia dijajah kera, melainkan sebuah komentar sosial, bahwa yang membedakan manusia dengan hewan bukan lagi tingkat kecerdasannya. Melainkan perilakunya. Film ini menunjukan, saat manusia berkonflik karena dilatari ketakutan pada golongan yang berbeda, muncul sifat-sifat binatang. Prinsip tidak menyakiti sesama pun (dalam film ini digambarkan dengan semboyan, "Kera tidak membunuh kera."), dilanggar.
***
Namun, bukan itu saja sejatinya yang tersaji dalam `Dawn of the Planet of the Apes`. Film ini malah mengajukan sebuah pertanyaan moral yang tak kalah penting dari metafora yang dibuatnya.
Skenarionya lebih memberi konflik yang bewarna pada golongan kera. Manusia, nyaris sebagai sampingan. Yang sudah menontonnya pasti bakal terkagum-kagum dengan betapa meyakinkannya kera-kera beradu akting dengan para manusia.
Kali ini teknologi yang disebut motion capture sekali lagi membuktikan kehebatannya. Cara kerja sederhananya begini, para aktor yang memerankan kera berakting dengan badan dipakaikan baju yang sudah diberi sensor.
Hasil syuting kemudian dipindai ke komputer. Para animator lalu mengganti tubuh sang aktor dengan wujud kera, lengkap dengan mimik dan ekspresi yang begitu meyakinkan.
Pertanyaan moral yang patut diajukan setelah menonton `Dawn` adalah, saat penampilan akting kera-kera begitu meyakinkan, begitu mencuri perhatian, kredit utama atas prestasi ini layaknya dialamatkan pada siapa? Sang aktor yang melakukan motion capture? Atau justru sekumpulan orang-orang yang bekerja memainkan tetikus di depan layar komputer, mencipta kera-kera digital berdasar gerakan motion capture? Apakah Academy Awards sekarang sepatutnya membuat satu kategori lagi di luar Efek Visual Terbaik, misalnya menambah dengan kategori "Best Motion Capture Performance in A Movie"? Atau,kerja Andy Serkis sebagai Caesar layak disandingkan dengan aktor-aktor yang wujudnya sebagai manusia di layar kelihatan?
Pertanyaan-pertanyaan itu wajib ditanyakan dan dicari jawabnya bersama-sama. Teknologi sinema telah berkembang demikian pesat. Yang mewujudkan keajaiban di dalam layar bioskop tak hanya aktor dan aktris yang bergelimang harta dan ketenaran, tapi juga para aktor yang wujudnya disamarkan oleh wujud lain hasil rekayasa komputer, maupun kutu buku berkacamata yang bekerja berjam-jam di belakang komputer mencipta makhluk-makhluk menakjubkan.
images credit: 20th Century Fox (Ade/Rul)