Liputan6.com, Jakarta Ada sejumlah alasan kenapa sebuah film batal edar ataupun ditarik dari peredarannya. Sebuah film bisa batal edar lantaran tidak lolos sensor. Ini contohnya banyak. Ada juga film yang sudah lulus sensor, tapi ketika edar di masyarakat malah memicu kontroversi. Akhirnya film ditarik dari bioskop. Anda mungkin masih ingat, di pertengahan 2000-an, film Buruan Cium Gue yang sudah lulus sensor, malah ditarik dari bioskop karena prootes dari masyarakat—di antara oleh da’i kondang Aa Gym. Namun, kali ini, yang terjadi pada `Jokowi Adalah Kita`, sebuah anomali.
Film `Jokowi Adalah Kita` sudah dapat surat tanda lulus sensor. Filmnya juga sudah dikenalkan pada media sejak jauh hari dan mendapat publikasi yang baik. Namun, setelah sehari edar, film tersebut malah ditarik dari peredaran oleh si empunya film sendiri.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Ramai diberitakan media, atas saran pendukung Jokowi, Bara JP, Produser K2K Production KK Dheeraj mengambil keputusan memundurkan jadwal penayangan sampai suasana kondusif.
"Ditunda penayangannya. Kenaikan harga BBM mengakibat situasi politik yang panas. Jadi kita tunggu. Kalau suasana aman baru diputar lagi," ujar KK Dheeraj di kantornya Jumat (21/10) pekan lalu.
Kenaikan harga BBM bersubsidi membuat gejolak di berbagai sektor. Sementara film `Jokowi Adalah Kita` memberi pesan positif tentang perjuangan Jokowi. "Sayang kalau gara-gara panas BBM lantas malas nonton filmnya. Karena banyak contoh teladan di dalamnya," paparnya.
`Jokowi Adalah Kita` merupakan film kedua yang mengangkat kehidupan Jokowi di layar lebar. Tahun lalu, rumah produksi yang sama membuat Jokowi yang dibintangi Teuku Rifnu Wikana sebagai Jokowi dan Prisia Nasution sebagai Iriana, wanita yang kemudian diperistri Jokowi. Film Jokowi rilisan 2013 mengisahkan jatuh-bangun perjuangan pemuda bernama Joko Widodo yang berasal dari keluarga miskin hingga jadi pengusaha mebel yang sukses.
Film `Jokowi Adalah Kita` edar 20 Juni tahun lalu berdekatan dengan ulang tahun Jokowi--yang tahun kemarin sudah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta—serta berdekatan pula dengan ulang tahun Jakarta. Momen yang bagus sebetulnya. Namun, film Jokowi disambut dingin oleh masyarakat maupun pengamat film. Filmnya tak mencapai sukses masuk 10 besar yang terlaris tahun lalu. Sebagai catatan, film terlaris nomor 10 tahun lalu adalah `Get M4rried` dengan jumlah penonton 315.390 menurut laman filmindonesia.or.id. Ini artinya film `Jokowi` tak sampai jumlah itu. Data yang sempat terekam di Twitter, hingga 1 Juli 2013, `Jokowi` baru mengumpulkan 60.301 penonton. Kemungkinan besar, hingga habis masa edarnya di bioskop, `Jokowi` rasanya tak sampai mengumpulkan 100 ribu penonton.
Advertisement
Hasil film `Jokowi` yang biasa-biasa saja rupanya tak menyurutkan KK Dheraaj untuk sekali lagi membuat film tentang Jokowi. Kali ini yang disorotnya adalah kiprah mantan Walikota Solo itu saat menjadi Gubernur DKI Jakarta serta terpilih jadi presiden. Ben Joshua didapuk menjadi Jokowi, Agustin Taidy jadi Ahok, sedang Sylvia Fully jadi Iriana, istri Jokowi.
Dalam beragam kesempatan, KK Dheraaj selalu bilang bahwa film Jokowi maupun `Jokowi Adalah Kita` bukanlah film politik. Namun sulit dipungkiri, ketika sebuah film mengangkat seorang figur publik yang menjadi politisi, nuansa itu tetap terasa kental.
Lagipula, politik dan film bukanlah dua hal yang tak pernah bertemu di jagat perfilman kita. Di masa Orde Baru, Suharto memanfaatkan film sebagai salah satu media propaganda rezimnya.
Pada masa Orde Baru kita disuguhi film `Janur Kuning` (1979) tentang heroisme Presiden Suharto saat masih muda saat peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Pengkultusan Suharto berlanjut lewat film kolosal lain yang pernah jadi tontonan wajib: `Pengkhianatan G30S/PKI` (1982). Film ini mengangkat kisah prahara 1965 dari sudut pandang Orde Baru. Mayjen Suharto (Amoroso Katamsi), Pangkostrad kala itu, mengambil kendali pimpinan ABRI, merencanakan serangan balik pada PKI, dan muncul sebagai pahlawan.
Menginjak apa yang disebut Era Reformasi, sejak 1998, telah lahir beberapa film bernuansa politik. Memang tak ada yang datang dari pemerintah. Ciri khas film bernuansa politik pasca Reformasi adalah kisah biografi tokoh politik yang patut diteladani. Tokoh itu tak melulu harus presiden yang pernah menjabat, bisa juga pemimpin atau pendiri organisasi massa yang memiliki jumlah anggota yang besar.
Maka, kita disuguhi Sang Pencerah (MVP Pictures, 2010) tentang pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dhalan, `Sang Kyai` (Rapi Film, 2013) tentang pendiri NU KH Hasyim Asyari, Soegija` (SET Film, 2013) tentang Pastor Soegijapranata, `Habibie & Ainun` (MD Pictures, 2013) tentang Presiden BJ Habibie, atau Sukarno (MVP, 2013) tentang Presiden Sukarno.
Jika diperhatikan semua film itu datang atas inisitif swasta. Bukan berasal dari niatan negara yang ingin mengkultuskan seseorang. Memang, Departemen Pendidikan membuat kisah Bung Karno lewat `Ketika Bung di Ende`. Namun, film itu tak edar komersil.
***
Nah, dalam tradisi film politik yang lahir dari swasta itu pulalah `Jokowi` (2013) dan `Jokowi Adalah Kita` (2014) diproduksi KK Dheraaj. Produser keturunan India yang kerap membuat film horor berbumbu seks ini lalu mengkombinasikan film bernuansa politik dengan kisah inspiratif yang juga sedang tren. Anda tentu mafhum, sejak `Laskar Pelangi` (2008) yang diangkat dari novel Andrea Hirata jadi film terlaris sepanjang masa kita, film tentang kisah from zero to hero ramai dibuat.
Dari kenyataan tersebut, di atas kertas, dua film Jokowi di atas menggabungkan formula yang jitu. Maka kemudian kita layak bertanya, kenapa film `Jokowi` menghasilkan jumlah penonton yang biasa-biasa saja sedang `Jokowi Adalah Kita` ditarik produsernya sendiri setelah sehari edar?
Pada film Jokowi masalahnya terletak pada production value. Ini istilah untuk menyebut apa yang terlihat di layar apa sudah memenuhi standar film yang sudah dibuat dengan baik atau belum, atau juga dengan kata lain filmnya dibuat dengan serius apa tidak. Saat wig yang dikenakan Rifnu Wikana di Jokowi terlihat seperti tempelan, kita wajib mempertanyakan film ini rasanya tak dibuat dengan serius. Atau pula, kita wajib curiga, jangan-jangan sang produser hanya sedang memanfaatkan kegandrungan masyarakat pada Jokowi lantas kisah hidupnya dibuatkan film.
Sementara itu, pada kasus `Jokowi Adalah Kita` yang terjadi bisa dibilang sebuah bencana marketing.
Jokowi Adalah Kita rilis berdekatan dengan sang tokoh resmi dilantik jadi presiden RI. Hal itu dianggap momen pas karena sang tokoh sedanng di puncak popularitasnya. Tapi kemudian, setelah resmi jadi pesiden, pada 17 Oktober silam, Jokowi malah menaikkan harga BBM bersubsidi. Walau kebijakan ini niatnya baik, tetap saja dianggap tak populer bagi orang kebanyakan.
Gara-gara menaikkan BBM, Jokowi tak lagi populer. Tagar satir Salam Gigit Jari jadi trending topic di Twitter, sedang survey LSI menyebutkan pula elektabilitas Jokowi yang semula 82 persen menjadi 42 persen.
Ya, film `Jokowi Adalah Kita` yang rilis berdekatan dengan sang tokoh menaikkan harga BBM adalah sebuah bencana yang bisa dikategorikan force majeure di bidang marketing. Laman filmindonesia.or.id mencatat, di hari pertama, film tersebut hanya mendatangkan penonton 3.951. Hingga filmnya ditarik, penonton yang terkumpul hanya berjumlah 4.020.
Oleh karena itu, pertanyaan pamungkas yang wajib ditanyakan adalah, bagaimana mencegah terjadinya bencana marketing?
Bencana marketing datang seperti gempa bumi. Tidak ada seorang pun yang bisa memprediksi kedatangannya. Yang dilakukan KK Dheraaj selaku produser `Jokowi Adalah Kita` sebetulnya tepat. Menarik film agar tak merugi lebih jauh di tengah popularitas yang menurun.
Yang bisa dilakukannya kini adalah mencari momen yang tepat kembali untuk merilis filmnya. Yakni momen saat Jokowi kembali populer. Kapankah momen itu? Entahlah.*** (Ade)