Terima Kunjungan Pergubi, Bamsoet Kampus Kembangkan Jurnal Internal untuk Mahasiswa dan Dosen

Bamsoet menerangkan, dalam UU No.12/2012 tentang Perguruan Tinggi, maupun UU No.11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, tidak secara spesifik mengatur publikasi artikel jurnal harus terindeks Scopus.

oleh Tim Regional diperbarui 08 Jul 2024, 20:26 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2024, 20:15 WIB
Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menerima kunjungan Pergubi. (Istimewa)
Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menerima kunjungan Pergubi. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo atau Bamsoet menerima dukungan dari Persatuan Profesor ATAU Guru Besar Indonesia (Pergubi) agar bisa segera menyelesaikan proses menjadi guru besar sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.

Mengingat menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah profesor atau guru besar di Indonesia masih rendah. Pada 2023 saja, dari sekitar 311.63 dosen aktif di Indonesia, hanya sekitar 2,61 persen yang bergelar Profesor/Guru Besar. Sementara di berbagai negara lain, rata-rata jumlah profesornya mencapai 20 sampai 30 persen.

"Pergubi menyampaikan banyak aspirasi lain seputar permasalahan di dunia pendidikan. Salah satunya terkait kewajiban dosen bahkan juga mahasiswa S2 dan S3 mempublikasikan artikel dalam jurnal terindeks Scopus. Hal ini justru mendatangkan moral hazard baru dengan lahirnya para calo jurnal. Di sisi lain, dengan mengistimewakan Scopus, justru membuat pertumbuhan jurnal dalam negeri menjadi terhambat, karena semuanya mengejar scopus," ujar Bamsoet, usai menerima Pergubi, Senin (8/7/2024).

Bamsoet menjelaskan, tidak ada salahnya Indonesia mencontoh Australia National University (ANU). Produk penelitian sivitas akademika ANU wajib disubmit ke lima jurnal yang diterbitkan oleh ANU sendiri. Sehingga menumbuhkembangkan jurnal internal ANU untuk terus berkembang menjadi besar karena penelitian mahasiswa dan dosennya dari berbagai disiplin ilmu, justru dipublikasikan oleh jurnal dari kampus mereka sendiri.

"Dengan hanya terfokus pada scopus, malah membuat uang para dosen lari ke luar negeri, karena harus membayar fee administrasi yang tidak sedikit, bahkan hingga puluhan juta rupiah," jelas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan, dalam UU No.12/2012 tentang Perguruan Tinggi, maupun UU No.11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, tidak secara spesifik mengatur publikasi artikel jurnal harus terindeks Scopus.


UU Tidak Mewajibkan Terindeks Scopus

Pasal 46 ayat 2 UU No.12/2012 justru menegaskan bahwa hasil penelitian dimuat dalam jurnal ilmiah yang terakreditasi dan/atau buku yang telah diterbitkan oleh perguruan tinggi atau penerbit lainnya dan memiliki International Standard Book Number (ISBN).

Jadi UU tidak mewajibkan terindeks scopus. Tidak heran jika masalah scopus ini senantiasa menjadi bahasan serius dalam lima tahun terakhir di Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Karena scopus bukan satu-satunya pengindeks publikasi internasional bereputasi di dunia, masih banyak lainnya. Daripada terjebak dalam perangkap Scopus, justru ada baiknya mengembangkan jurnal kampus menjadi jurnal nasional dan internasional, yang menjadi kebanggaan bangsa," jelasnya.

 

Infografis Muncul Wacana Pembentukan Dewan Media Sosial. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Muncul Wacana Pembentukan Dewan Media Sosial. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya