Penurunan Biaya Interkoneksi Bakal Hambat Pembangunan Jaringan

Penurunan biaya interkoneksi tak akan memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi di Tanah Air.

oleh Corry Anestia diperbarui 11 Agu 2016, 16:46 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2016, 16:46 WIB
Ilustrasi jaringan telekomunikasi memancar dari tower
Ilustrasi jaringan telekomunikasi memancar dari tower. Kredit: Redmondpie

Liputan6.com, Jakarta - Upaya pemerintah untuk menurunkan biaya interkoneksi dengan besaran sama untuk semua operator (pola simetris), menuai reaksi dari beberapa pengamat. 

Analis Bahana Securities, Leonardo Henry menilai penurunan biaya interkoneksi tak akan memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi di Tanah Air. 

Perlu diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menetapkan biaya interkoneksi turun dari Rp 250/menit menjadi Rp 204/menit dengan pola simetris.

"Justru penurunan ini akan membuat operator malas membangun infrastruktur jaringan," ujarnya dalam keterangan rilis kepada tim Tekno Liputan6.com, Kamis (11/8/2016). 

Sementara, Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa penurunan biaya interkoneksi akan berdampak pada persaingan tak sehat dan menghambat pembangunan jaringan telekomunikasi.

Hal ini demikian karena biaya interkoneksi yang ditetapkan di bawah harga pokok penjualan (HPP). Operator pengguna jaringan akan diuntungkan diibandingkan operator pemilik jaringan. 

"Pemerintah seharusnya menggunakan basis biaya (cost base) dalam menetapkan HPP. Cost base ini memperhitungan investasi (capex) dan biaya operasional yang dikeluarkan operator pemilik jaringan," jelasnya.

Ketua Program Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung, Ian Joseph Matheus, juga tak sepakat dengan konsep simetris. Pasalnya , mengacu pada capex, tak sedikit investasi yang dikeluarkan operator untuk membangun jaringan di remote area.

Ia mengakui bahwa pola simteris dapat mencapai efisiensi di pasar, asalkan cakupan jaringan sudah menjangkau seluruh wilayah di Indonesia sehingga tercipta keseimbangan antar operator. 

Selain itu, ia menyoroti bagaimana negara-negara di Eropa telah menetapkan tarif interkoneksi dengan pola simetris lantaran cakupan jaringannya telah menembus 90-100 persen. 

Misalnya saja, Swiss dan Kroasia (100%); Austria, Yunani, Portugal, dan Prancis (99%); Italia dan Spanyol (98%); Inggris (95%); dan Jerman (92%). Demikian pula di Asia Tenggara, yakni Thailand (97%) dan Malaysia (95%). 

"Logikannya, komponen tersebut (interkoneksi) membutuhkan biaya besar. Hal ini harus jadi pemerintah dalam menetapkan biaya interkoneksi." Tutup Ian.

(Cas/Isk)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya