Liputan6.com, Jakarta - Limbah plastik sebetulnya bisa didaur ulang. Namun untuk melakukannya, butuh proses yang berbelit-belit dan biaya yang besar dibanding daur ulang material lain.
Untuk mengatasi kendala ini, ilmuwan menciptakan teknologi khusus dengan membuat enzim yang mampu 'memakan' limbah plastik.
Baca Juga
Dilansir laman Ubergizmo pada Selasa (17/4/2018), ilmuwan University of Portsmouth, Inggris, mengaku terinspirasi dari penemuan bakteri di Jepang pada 2016 yang secara alami mampu berevolusi untuk memakan material plastik dalam gundukan limbah.
Advertisement
Dengan demikian, mereka berencana untuk menduplikasikan bakteri tersebut, sehingga tercipta enzim yang berevolusi dengan baik dan dapat bekerja dalam waktu cepat.
Diungkapkan, enzim bisa bekerja 'menghabiskan' material plastik hanya dalam waktu beberapa hari saja. Tentu metode ini sangat menakjubkan jika dibandingkan dengan daur ulang plastik yang biasanya menghabiskan waktu puluhan hingga ratusan tahun.
"Kami berharap enzim ini bisa mengubah material plastik kembali ke komponen aslinya, jadi kami bisa lebih mudah mendaur ulang dengan cepat. Ini artinya kami juga tidak perlu menghabiskan lebih banyak instrumen lain seperti minyak untuk menghabiskan proses daur ulang," ujar John McGeehan, pimpinan ilmuwan University of Portsmouth.
Enzim tersebut untuk saat ini masih dalam tahap uji coba. Namun McGeehan mengklaim kalao metode ini akan rampung dalam waktu dekat.
Sampah Elektronik Membeludak hingga 49,8 Juta Ton di 2018
Sampah elektronik ternyata tengah menjadi salah satu permasalahan utama bagi seluruh negara dunia. Sebab, semakin ke sini jumlah sampah elektronik kian bertambah. Setiap tahun, pertumbuhannya bisa meningkat lima persen.
Menurut penelitian dari United Nations University, jika diukur dalam skala global, jumlah sampah elektronik akan terus bertambah hingga 49,8 juta ton hingga 2018. Tingkat pertumbuhannya sendiri berkisar pada 4-5 persen.Â
Adapun benua 'penyumbang' sampah elektronik terbanyak di dunia jatuh pada Asia. Di Asia, jumlah sampah elektronik bisa bertambah hingga 63 persen dalam lima tahun (2010-2015). Demikian dilansir Forbes, Sabtu (25/11/2017).
Pada kenyatannya, Asia memang merupakan benua dengan pasar dan industri elektronik terbesar. Mirisnya, perangkat elektronik yang digunakan ternyata memang tidak bisa didaur ulang atau bahkan digunakan kembali.
Sampah elektronik di Asia pada 2015 bahkan telah mencapai 12,3 juta ton. Jika dibandingkan, angka tersebut sama dengan 2,4 kali lipat dari berat Piramida Agung di Giza, Mesir.
Jika dikulik, Hong Kong dan Singapura ternyata menjadi negara dengan kontribusi tertinggi penyumbang sampah elektronik per kapita. Untuk Hong Kong sebanyak 21,7 kilogram, sedangkan Singapura 19,95 kilogram.
Â
Advertisement
Paling Banyak dari Smartphone Bekas
Programme Officer UN Environment Jepang Shunici Honda mengatakan, kategori sampah elektronik paling banyak ternyata berasal dari smartphone bekas yang diekspor ke banyak negara, salah satunya Hong Kong.
Honda menyebut, Hong Kong menjadi pasar paling besar untuk perangkat elektronik yang didaur ulang alias refurbished.
"Biasanya sisa dari sampah dibawa pemulung dan dikirim ke tempat pembuangan akhir. Atau, bisa juga diekspor ke negara-negara yang ingin mengurangi pembakaran sampah elektronik," ujarnya.
Lantas, solusi pengurangan sampah elektronik (pembakaran dan penumpkkan) yang telah dilakukan beberapa negara di Asia dan Afrika, dipandang Honda berisiko membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Jadi, Honda menyarankan sampah elektronik--contohnya smartphone--jangan dibuang. Ia memberikan contoh perusahaan teknologi seperti Apple yang menerapkan daur ulang sampah elektronik dengan program trade in iPhone baru.
Caranya, iPhone yang lama akan dikumpulkan Apple, tapi tak akan dibakar. Mereka akan didaur ulang dan dijadikan sebagai material ubin, jendela, atau juga furnitur lainnya.
(Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: