Agar Tak Hambat Industri Pembayaran, Sistem GPN Perlu Dibenahi

Terbitnya peraturan mewajibkan para pelaku industri pembayaran mengintegrasikan sistem pembayaran ritel di Indonesia, dengan dampak langsung pada transaksi menggunakan kartu debit.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Mei 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2018, 12:00 WIB
BI Resmi Luncurkan Gerbang Pembayaran Nasional
Menkominfo Rudiantara memberi sambutan dalam launching acara Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Gedung BI, Jakarta, Senin (4/12). GPN bisa menekan biaya investasi dan infrastruktur bagi perbankan karena dapat dipakai bersama. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) baru saja merilis kajian mengenai karakteristik desain dan dampak penerapan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) terhadap industri pembayaran.

Kajian independen yang dilakukan selama enam bulan ini, melibatkan enam ahli ekonomi, dan merupakan respons para pemerhati industri pembayaran di lingkup kampus UI terhadap Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 tentang GPN.

Terbitnya peraturan mewajibkan para pelaku industri pembayaran mengintegrasikan sistem pembayaran ritel di Indonesia, dengan dampak langsung pada transaksi menggunakan kartu debit.

"Pada dasarnya kami menyambut baik penyelenggaraan GPN ini yang menandakan suatu kemajuan pada upaya pemerintah untuk lebih bergiat memindahkan sistem transaksi tunai menjadi non tunai," ujar Chaikal Nuryakin, salah satu peneliti LPEM FEB UI yang terlibat aktif dalam menyusun hasil kajian ini.

"Namun, ada beberapa hal yang menurut kajian LPEM FEB UI masih perlu diperbaiki dalam penyelenggaraannya, agar kebijakan tidak menghambat kinerja industri pembayaran di Indonesia, dan sekaligus memberikan keuntungan maksimal bagi nasabah," tambahnya.

Hal yang disoroti pada hasil kajian tersebut termasuk dampak langsung (intended consequences) dan tidak langsung (unintended consequences) yang muncul dari penerapan skema tarif, mandat kepemilikan kartu debit GPN, dan pemrosesan melalui kelembagaan GPN.


Aspek Tarif

20 juta kartu debit BRI berlogo GPN siap diterbitkan hingga akhir 2018
20 juta kartu debit BRI berlogo GPN siap diterbitkan hingga akhir 2018

Pertama, dari aspek tarif, GPN akan menurunkan biaya merchant discount rate atau MDR yang dibayarkan merchant secara agregat sebesar Rp 830 miliar atau 47 persen per tahun. Hal ini dinilai akan mendorong lebih banyak terjadinya transaksi non tunai.

Namun di sisi lain, penurunan MDR berpotensi menggerus penerimaan bank hingga 77 persen (untuk bank issuer) dan 20 persen (untuk bank acquirer).

Akibatnya, dorongan bagi bank issuer untuk berinovasi pada produk kartu debit dan bank acquirer untuk mengakusisi lebih banyak merchant terancam menurun.

Kedua, potensi inefisiensi biaya akibat nasabah yang diwajibkan untuk memiliki kartu debit berlogo GPN. Bagi bank issuer, pencetakan kartu baru akan memunculkan kemungkinan melonjaknya biaya operasional hingga Rp 585 miliar dalam empat tahun ke depan.

Namun, semakin banyaknya kartu yang beredar belum dapat dilihat sebagai solusi efektif. Adanya kewajiban kepemilikan minimal satu kartu GPN untuk setiap nasabah akan berdampak pada terbitnya 22,5 juta kartu debit GPN yang tidak digunakan nasabah atau dormant karena tidak dianggap kompatibel, terutama untuk kebutuhan transaksi di luar negeri dan transaksi daring (e-Commerce).


Biaya Administrasi

Bank BRI launching Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) Card (Dok Foto: PT BRI Tbk)
Bank BRI launching Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) Card (Dok Foto: PT BRI Tbk)

Sementara, yang tidak dapat dihindari adalah munculnya biaya administrasi yang akan dibebankan kepada nasabah untuk kepemilikan kartu tambahan tersebut.

Diperkirakan secara total ada tambahan biaya administrasi yang akan timbul sebesar Rp 163 miliar per bulan, atau jika diakumulasikan menjadi Rp 1,96 triliun per tahun.

"Bagi nasabah yang melakukan perjalanan ke luar negeri ataupun pembelanjaan daring, penggunaan kartu berlogo GPN mungkin akan kurang menarik karena terbatasnya akses pembayaran jika dibandingkan dengan kartu berlogo internasional yang sudah mereka miliki," ujar Dono Iskandar, peneliti LPEM, anggota tim penyusun hasil kajian ini.

"Hal ini perlu disikapi dengan baik, agar pencetakan kartu berlogo GPN tetap dapat digunakan secara maksimal oleh nasabah, dan bukan sekadar pemenuhan kewajiban atas kepemilikan minimal satu kartu berlogo GPN yang ditetapkan pemerintah," tambahnya.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pemrosesan transaksi. Desain GPN yang dibangun di atas empat lembaga switching domestik yang berbeda dinilai menghambat optimalisasi sistem pembayaran karena mendesak kebutuhan interoperabilitas dan interkoneksi.

Padahal, switching merupakan industri dengan fixed cost yang besar sehingga memerlukan skala ekonomi yang optimal untuk dapat beroperasi dengan efisien.

Studi kasus di negara-negara lain menunjukkan bahwa negara perlu menggelontorkan biaya investasi hingga Rp 675 miliar untuk membuat sistem pembayaran nasional seperti GPN.

Selain itu, kewajiban bagi seluruh pemrosesan transaksi domestik untuk melalui infrastruktur GPN juga dilihat akan mendistorsi kompetisi. LPEM menilai tujuan kedaulatan data dan kepentingan nasional sudah tercapai, mengingat BI telah memberlakukan kewajiban pemrosesan transaksi domestik untuk menggunakan infrastruktur dalam negeri.

Pemrosesan melalui lembaga switching domestik juga dikhawatirkan meningkatkan potensi terjadinya fraud, hacking, dan disrupsi terhadap infrastruktur GPN, mengingat kebanyakan lembaga switching tersebut sebelumnya hanya merupakan penyelenggara jasa switching untuk jaringan ATM.

Isu keamanan bertransaksi bagi nasabah saat ini masih menjadi salah satu kekhawatiran utama dan sekaligus pekerjaan rumah bagi ragam layanan keuangan di Indonesia.

Cermat memilih lembaga yang diberikan mandat mengelola switching menjadi salah satu poin utama yang tidak dapat diabaikan begitu saja.


Kebijakan Optimalisasi

BI Resmi Luncurkan Gerbang Pembayaran Nasional
Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Anggoro Eko Cahyo (tengah) bersama sejumlah menteri Kabinet Kerja, menunjukkan kartu Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) saat peresmian di Gedung BI, Jakarta, Senin (4/12). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menimbang hal-hal tersebut, LPEM merekomendasikan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan optimalisasi sistem pembayaran di bawah GPN. Pertama, konsolidasi perusahaan switching domestik menjadi satu entitas yang dimiliki bersama oleh perbankan nasional.

Hal ini bertujuan untuk mempermudah interoperabilitas dan interkoneksi, mendukung pengembangan inovasi, dan menjaga keberlanjutan industri sistem pembayaran.

Kedua, pemberlakuan kebijakan opt out kepemilikan kartu berlogo GPN bagi nasabah yang tidak memerlukannya dalam rangka mengeliminasi inefisiensi dari kartu dormant dan biaya administrasi berlebih.

Kebijakan ini diperkirakan dapat menurunkan biaya administrasi sebesar Rp40 miliar per bulan atau Rp480 miliar per tahun. Terkait instrumentasi, LPEM juga merekomendasikan agar penerapan GPN tidak hanya berbasis kartu tapi juga berbasis peladen (server) sesuai perkembangan teknologi.

"Kami menilai perlu adanya peninjauan ulang terhadap kewajiban pemrosesan seluruh transaksi domestik melalui GPN. Penerapan GPN akan membawa berbagai dampak positif bagi sistem pembayaran di Indonesia namun belum optimal dari segi efisiensi, perlindungan konsumen, dan kompetisi, serta tidak sejalan dengan praktik internasional," tutup Ashintya Damayati, anggota tim penyusun hasil kajian.

(Jek/Ysl)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya