Liputan6.com, Ubud - Tarif murah yang ditawarkan oleh operator di Indonesia, ternyata tak selamanya berdampak positif terhadap konsumen. Buktinya, meski secara psikologis konsumen merasakan tarif yang lebih murah, tapi pada dasarnya kualitas layanan yang didapatkan oleh mereka menurun.
Hal ini disebabkan oleh perang tarif yang dilakukan para operator dan membuat ekosistem industri menjadi tidak sehat.
Baca Juga
"Bayangkan saja, harga paket data satu bulan sama dengan harga kamu satu kali minum kopi di kafe. Tentu saja itu tidak fair," ungkap Chief Technical Officer Huawei Indonesia, Vannes Yew dalam sesi media terbatas di Ubud, Bali, baru-baru ini.Â
Advertisement
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa skenario persaingan harga yang dilakukan oleh operator membuat biaya operasional membengkak. Akibatnya, operator tak memiliki keleluasaan untuk berinvestasi dalam pembangunan jaringan baru karena tingginya biaya operasional.
Begitu pun dengan rerata pendapatan per pengguna (ARPU) yang tak terkatrol imbas ketatnya persaingan harga tersebut. Malahan, Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan ARPU terendah di dunia dengan kisaran Rp 20-40 ribu.
Â
Ekosistem industri mengarah ke kondisi lebih baik
Meski demikian, Vannes melihat perlahan ekosistem industri telah mengarah ke kondisi yang lebih baik. Sebut saja, langkah pendaftaran kartu SIM prabayar yang diwajibkan per April 2018. Hal ini menurut dia berperan penting dalam proses penyehatan industri.
"Berkat kebijakan tersebut, biaya pencetakan kartu SIM dapat ditekan. Dengan jumlah pelanggan yang semakin terukur, sudah seharusnya operator dapat fokus untuk meningkatkan kualitas jaringan dan layanan," kata dia.
Dengan langkah-langkah bijak yang diambil oleh para pelaku industri, Huawei optimis akan terwujudnya persaingan sehat di antara operator telekomunikasi Indonesia demi terwujudnya industri telekomunikasi yang semakin sehat.
(Sulung/Isk)
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement