Liputan6.com, Jakarta - Selama ini banyak pasien Covid-19 yang tidak mengalami gejala apapun tetapi terjangkit virus corona. Tentu, jika tidak bergejala bagaimana orang bisa sadar untuk melakukan isolasi diri?
Nah, baru-baru ini peneliti MIT menemukan bahwa suara batuk dipercaya bisa mendeteksi kemungkinan seseorang terinfeksi Covid-19. Hal ini tentu bisa menjadi sistem peringatan dini untuk mengetahui persebaran virus.
Advertisement
Baca Juga
Selama bertahun-tahun, dokter telah mengetahui bahwa suara batuk seseorang bisa menguak penyakit yang diderita.
Kini mengutip laman Techcrunch, Selasa (3/11/2020), para peneliti di MIT menggunakan permodelan AI (artificial intelligence) untuk mendeteksi kondisi seperti pneumonia, asma, bahkan penyakit neuromuskuler menggunakan suara batuk.
Peneliti Brian Subirana berpikir, AI mampu memberikan informasi mengenai Covid-19. Bersama timnya, Subirana membuat database berisi ribuan sampel suara batuk untuk melatih model AI yang kemudian didokumentasikan pada jurnal terbuka.
Model tersebut mendeteksi pola halus batuk dalam hal kekuatan suara, sentimen, kinerja paru-paru dan pernapasan, hingga degradasi otot. Hasilnya, model AI tersebut bisa mengidentifikasi 100 persen batuk oleh penderita Covid-19 tanpa gejala, 98,5 persen.
Tak Bisa Dipakai Sebagai Alat Diagnosis
"Kami pikir ini menunjukkan bahwa cara seseorang menghasilkan suara berubah ketika mereka terkena Covid-19, bahkan ketika mereka tidak bergejala," kata Subirana tentang temuan tersebut.
Ia mengatakan, meskipun model AI ini cukup baik dalam mendeteksi Covid-19 berdasarkan suara batuk, sistem ini tidak bisa dipakai sebagai alat diagnosis untuk orang dengan gejala tetapi tidak yakin penyebab yang mendasarinya.
"Alat tersebut mendeteksi fitur yang memungkinkannya membedakan subjek dengan Covid-19 dan yang tidak terkena Covid-19," katanya kepada Techcrunch.
Ia juga menyebut, penelitian sebelumnya menunjukkan, deteksi bisa dilakukan dengan metode lainnya.
Advertisement
Kerja Sama dengan Pihak Lainnya
Dengan kata lain, bagi mereka yang melihat keberhasilan berdasarkan angka statistik, tingkat keberhasilan yang sangat tinggi bisa menimbulkan bahaya.
Pasalnya, model AI memang hebat dalam banyak hal, namun angka 100 persen bukanlah angka yang sering terjadi, sehingga penelitinya harus menggunakan cara lain, jika model tersebut membuat kesalahan.
Selain itu, temuan ini juga perlu dibuktikan dengan kumpulan data lain dan diverifikasi oleh para penelitian. Namun, bukan tidak mungkin model AI ini nantinya bisa diandalkan untuk mendeteksi Covid-19.
Sejauh ini tim peneliti telah bekerja sama dengan beberapa rumah sakit untuk membangun kumpulan data yang lebih beragam.
Mereka juga bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk menyusun aplikasi, guna mendistribusikan penggunaan yang lebih luas, jika nantinya mendapat persetujuan dari FDA.
(Tin/Isk)