Liputan6.com, Jakarta - NASA mengumumkan misi DART (Double Asteroid Redirect Test) telah berhasil mengubah orbit asteorid Dimorphos. Menurut badan antariksa Amerika Serikat tersebut, keberhasilan ini menandai pertama kalinya manusia berhasil mengubah gerakan benda langit.
"Misi ini menunjukkan berusaha untuk siap menghadapi apa pun yang dilemparkan alam semesta pada kita," tutur Administrator NASA Bill Nelson seperti dikutip dari situs resmi NASA, Rabu (12/10/2022).
Baca Juga
NASA menjelaskan, sebelum ditabrak DART, Dimorphos membutuhkan 11 jam 55 menit untuk mengorbit asteroid induknya yang lebih besar, yakni Didymos. Namun sejak ditabrak DART, orbit asteorid tersebut kini telah berubah.
Advertisement
Berdasarkan pemantauan tim investigasi, orbit Dimorphos kini berkurang sekitar 32 menit. Dari sebelumnya, 11 jam 55 menit, kini waktu yang dibutuhkan Dimorphos mengorbit Didymos menjadi 11 jam 23 menit.
Meski misi ini berhasil, NASA menyatakan masih perlu melakukan pengumpulan data yang lebih banyak, terutama yang berasal dari observatorium di seluruh dunia.
Dengan data yang lebih banyak, astronom bisa menilai apakah misi seperti DART bisa digunakan untuk melindungi Bumi di masa depan.
Untuk diketahui, misi DART merupakan salah satu misi yang diluncurkan NASA untuk melindungi Bumi dari asteroid. Jadi, NASA menggunakan pesawat luar angkasa untuk menabrak asteroid dan memindahkan momentumnya.
Tabrakan itu yang nantinya mampu membelokkan asteroid dari jalur aslinya. Dengan demikian, misi ini diharapkan bisa menghindari Bumi dari tabrakan asteroid di masa depan.
Lindungi Bumi
Sebagai informasi, teknik semacam ini belum dipertimbangkan 30 tahun lalu, tapi dengan kemajuan teknologi, hal tersebut jadi pilihan dalam menyelamatkan Bumi dari tabrakan asteroid.
"Kami memiliki kemampuan, dengan teknologi saat ini, setidaknya bisa membuat bencana asteroid dapat dicegah," kata Tim Statler, Ilmuwan Program DART NASA.
NASA percaya, hanya 40 persen dari asteroid yang melintas dekat Bumi yang besarnya lebih dari 140 meter. Asteroid-asteroid ini berpotensi menghancurkan Bumi jika terjadi tabrakan.Â
Sebelumnya, menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, uji coba ini dilakukan pada salah satu asteroid kembar.
"Pada saat uji coba, posisi asteroid sangat jauh dari Bumi, sekitar 11 juta km. Uji coba dilakukan dengan menabrak asteroid kecil (berukuran 160 m) yang mengorbit asteroid besar (berukuran 780 km)," tutur Thomas.
Â
Advertisement
Tabrak Asteroid Dimorphos
Nama asteroid dengan ukuran lebih kecil dan menjadi tujuan misi ini adalah Dimorphos. Asteroid tersebut mengitari asteroid yang lebih besar bernama Dydimos.
"Asteroid akan ditabrak wahana DART dengan kecepatan 6,6 km/detik. Dengan tabrakan itu, diharapkan orbit asteroid kecil akan berubah. Skenario seperti itu yang akan dilakukan jika nantinya ada asteroid yang mengancam Bumi," tutur Thomas menjelaskan lebih lanjut.
Dihubungi secara terpisah, Peneliti bidang astronomi/astrofisika Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Rhorom Priyatikanto menuturkan, asteroid kembar itu dipilih karena NASA ingin mengetahui efek tabrakan DART terhadap orbit Dimorphos yang mengitari Dydimos.
Ia mengatakan, efek itu lebih mudah diukur ketimbang perubahan orbitnya mengitari Matahari. Sebab, menurut Rhorom, jika mengukur perubahan orbit asteroid mengitari Matahari butuh bertahun-tahun melihat efek pembelokan akibat tabrakan DART yang ukurannya relatif kecil.
"Jadi, kalau ditanya efektivitasnya (saat ini) dalam menghalau asteroid yang akan masuk ke Bumi, maka jawabannya masih amat rendah. Namun, DART menjadi uji coba teknologi yang akan melindungi Bumi di masa depan," tuturnya menjelaskan.
Belajar dari Sejarah
Oleh sebab itu, ia menuturkan, DART dapat menjadi metode untuk menghalau asteroid yang dapat membawa malapetaka bagi Bumi di masa depan. Terlebih, ada potensi asteroid yang membahayakan Bumi.Â
Rhorom menuturkan, apabila melihat sejarah, asteroid memang bisa memiliki dampak yang membahayakan bagi Bumi. Ia mencontohkan, dinosaurus yang punah karena malapetaka akibat kejatuhan asteroid.
"Belakang ini ada kejadian dashyat di Chelyabinski atau Tungushka (Rusia). Ledakan meteor di Bone, Bali, Lampung juga terbilang ekor dari fenomena benda jatuh antariksa," tuturnya melanjutkan.
Untuk itu, asteroid yang menghantam Bumi merupakan suatu keniscayaan. Namun hal itu memang tidak terjadi dalam waktu dekat.
"Kejadian yang memusnahkan dinosaurus adalah kejadian jutaan tahun sekali. Kejadian yang lebih ringan tentu lebih sering dan upaya NASA (disusul ESA) merupakan upaya planetary defense," ujarnya menutup perbincangan.
(Dam/Ysl)
Advertisement