Top 3 Tekno: Penyebaran Malware via Google Ads Tuai Perhatian

Dengan menyalahgunakan Google Ads, hacker dapat menyebarkan malware tanpa dicurigai pengguna yang sedang mencari software resmi.

oleh Iskandar diperbarui 30 Des 2022, 10:30 WIB
Diterbitkan 30 Des 2022, 10:30 WIB
Ilustrasi Keamanan Siber, Kejahatan Siber, Malware
Ilustrasi Keamanan Siber, Kejahatan Siber, Malware. Kredit: Elchinator via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Penyebaran malware via Google Ads yang dilakukan hacker jahat menuai perhatian para pembaca di kanal Tekno Liputan6.com, Kamis (29/12/2022) kemarin.

Informasi lain yang juga populer datang dari ChatGPT (chatbot berbasis kecerdasan buatan) besutan OpenAI yang digadang-gadang bakal menyaingi Google.

Lebih lengkapnya, simak tiga berita terpopuler di kanal Tekno Liputan6.com berikut ini.

1. Hati-Hati, Hacker Pakai Google Ads untuk Sebar Malware di Software Resmi

Penjahat siber semakin kreatif saja menyebarkan malware, di mana kali ini mereka memanfaatkan platform Google Ads untuk software resmi.

Dengan menyalahgunakan Google Ads, pelaku dapat menyebarkan malware tanpa dicurigai pengguna yang sedang mencari software resmi.

Adapun software populer yang ditiru pelaku untuk menyebarkan malware ini, termasuk Grammarly, MSI Afterburner, Slack, Dashlane, dan Malwarebytes.

Software lainnya, adalah Audacity, μTorrent, OBS, Ring, AnyDesk, Libre Office, Teamviewer, Thunderbird, dan Brave.

Mengutip Bleeping Computer, Kamis (29/12/2022), pelaku mengkloning situs web resmi software di atas untuk mendistribusikan installer versi trojan saat tombol download diklik.

Penyebaran malware ini diungkap lewat laporan Guardio Labs dan Trend Micro. Mereka menjelaskan, situs web berbahaya ini dipromosikan ke pengguna melalui Google Ads.

Beberapa malware, termasuk varian Racoon Stealer--modifikasi dari Vidar Stealer, dan malware loader bernama IcedID.

Informasi, Google Ads adalah platform membantu pengiklan mempromosikan laman di Google Search, dan menempatkannya di urutan teratas dalam daftar hasil pencarian.

Baca selengkapnya di sini 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


2. Popularitas ChatGPT Bikin Resah Google

Ilustrasi cara, logout akun, Google
Ilustrasi cara, logout akun, Google. (Photo by Brett Jordan on Unsplash)

ChatGPT, chatbot berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang viral buatan OpenAI beberapa waktu lalu digadang-gadang bakal menyaingi Google.

Pasalnya, viralnya chatbot ini dikarenakan banyak orang mendapatkan jawaban langsung dari platform tersebut, untuk hampir semua pertanyaan dimungkinkan.

Menurut laporan oleh The New York Times beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari CNET, Kamis (29/12/2022), popularitas ChatGPT disebut-sebut membuat Google resah dan mengeluarkan "red code" alias "tanda bahaya."

Seorang eksekutif Google berbicara secara anonim kepada New York Times, chatbot AI seperti ChatGPT bisa menjungkirbalikkan bisnis raksasa pencarian tersebut, yang bergantung pada iklan dan e-commerce di Google Search.

Publikasi itu juga mengklaim, dalam memo dan rekaman audio yang mereka peroleh, CEO Sundar Pichai sudah mengadakan pertemuan untuk "menentukan strategi AI Google."

Pichai juga menyebutkan, mereka telah "membalikkan pekerjaan banyak kelompok di dalam perusahaan, untuk menanggapi ancaman ditimbulkan oleh ChatGPT."

Mengutip Insider, secara khusus, tim di divisi penelitian, kepercayaan, dan keamanan Google, di antara departemen lain, telah diarahkan untuk beralih membantu pengembangan dan peluncuran prototipe dan produk AI.

Baca selengkapnya di sini 

 


3. UU PDP dan Literasi Masyarakat Bisa Jadi Kunci Tingkatkan Kepercayaan Digital

Ilustrasi dompet digital, e-wallet, pembayaran dengan QR Code
Ilustrasi dompet digital, e-wallet, pembayaran dengan QR Code. Kredit: David Dvořáček via Unsplash

Digital trust atau kepercayaan digital, dirasa semakin penting untuk dibangun demi mendorong masuknya masyarakat ke dalam ekosistem digital.

Apalagi, saat ini terjadi peningkatan penetrasi pengguna internet, di tengah maraknya berbagai kejahatan siber seperti pencurian identitas.

Survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2022 mencatat, sekitar 41,6 persen masyarakat Indonesia meragukan, atau merasa data pribadi yang didaftarkan di aplikasi digital tidak terjamin kerahasiaannya.

Di riset tersebut, meski mayoritas (75.1 persen) belum pernah mendengar atau mengetahui tentang rancangan UU PDP. Namun mayoritas masyarakat menyatakan semakin percaya data pribadi akan terlindungi jika UU PDP diberlakukan (61.4 persen).

Pemerintah dan DPR sendiri baru-baru ini mengesahkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), untuk memberikan kerangka aturan komprehensif pelindungan data pribadi masyarakat dalam ekosistem digital.

"Dengan adanya Undang-Undang PDP, seluruh peraturan yang lain dikelompokkan menjadi satu peraturan," kata Erwandi Hendarta, praktisi hukum dan pengacara dari HHP Law Firm, mengutip siaran pers, Kamis (29/12/2022).

"Meskipun peraturan pidana yang mengikat semua pihak ini telah dihadirkan ke dalam ekosistem digital, peraturan ini tidak dapat bergerak sendiri melainkan memerlukan partisipasi proaktif dari para pemangku kepentingan lainnya dan masyarakat umum sebagai konsumen," ujarnya.

Baca selengkapnya di sini 


Infografis Jurus Pemerintah Atasi Serangan Siber dan Poin Penting RUU PDP. (Liputan6.com/Trieyasni)

Infografis Jurus Pemerintah Atasi Serangan Siber dan Poin Penting RUU PDP. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Jurus Pemerintah Atasi Serangan Siber dan Poin Penting RUU PDP. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya