ATSI Minta Regulatory Charge Turun Biar Operator Seluler Bisa Gelar Jaringan Lebih Merata

Asosiasi penyelenggara telekomunikasi seluruh Indonesia (ATSI) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan menurunkan biaya BHP frekuensi dan PNBP untuk sektor telekomunikasi agar operator seluler dapat menggelar jaringan lebih cepat dan berkualitas.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 03 Okt 2023, 17:00 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2023, 17:00 WIB
Ilustrasi Internet, Wifi, Jaringan
Ilustrasi Internet, Wifi, Jaringan (Photo created by macrovector on Freepik)

 

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) memberi usulan ke pemerintah terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi yang membenani operator seluler. 

Anggota ATSI Rudi Purwanto mengatakan, saat ini regulatory charge dalam hal ini BHP frekuensi hingga USO begitu membebani operator seluler. 

"Saat ini regulatory charge untuk operator seluler lebih dari 10 persen dan tidak sehat. Kami berharap pemerintah dapat mengganti PNBP termasuk Biaya Hak Penggunaan/ BHP frekuensi dengan pemerataan jaringan hingga daerah pelosok, meningkatkan ranking kecepatan internet di Indonesia yang tertinggal," kata Rudi di Jakarta, Senin 2 Oktober 2023. 

Rudi menyambung, selain untuk menggelar jaringan, usulan tentang regulatory charge juga bisa mempercepat jaringan dan memeratakan infrastruktur digital, meningkatkan GDP dan pajak, membuka lapangan kerja, meningkatkan bandwidth per kapita dan lain-lain. 

Ini perlu dilakukan mengingat infrastruktur digital adalah landasan untuk menghubungkan masyarakat, memfasilitasi transaksi online, dan mengaktifkan layanan digital lainnya. 

Dalam hal ini, operator telekomunikasi jadi pilar yang menopang industri dan perekonomian digital Indonesia dan bertanggung jawab membangun dan memelihara infrastruktur telekomunikasi dan andal. 

"Keberhasilan industri dan perekonomian digital sangat tergantung pada peran operator telekomunikasi dalam menyediakan konektivitas yang luas, cepat, dan andal dan menciptakan ekosistem digital yang inklusif dan inovatif," kata pemerhati industri telekomunikasi sekaligus CEO Selular Media Network, Uday Rayana. 

Pemerintah Tampung Saran

20151102-XL Siapkan 4G LTE Bagi Penggila Internet di Indonesia
Teknisi XL melakukan perawatan atas perangkat BTS 4G di atas menara di kawasan Lembang, Bandung, (2/11/2015). Proses refarming atau penataan ulang frekuensi 1800Mhz telah selesai untuk wilayah Kota Bandung dan sekitarnya. (Liputan6.com/Yudha Gunawan)

Untuk itulah, pemerintah dan semua pemangku kepentingan perlu memberikan dukungan untuk memastikan kondisi yang kondusif bagi operator telekomunikasi. 

Di sisi lain, Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI Kominfo Denny Setiawan mengatakan akan menampung dan mengkaji usulan dari ATSI.

Menanggapi hal ini, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kemenkeu Wawan Sunarjo mengungkap, pihaknya terbuka jika operator telekomunikasi keberatan dengan PNBP yang ditetapkan. 

"Kami juga akan menerima usulan dari ATSI terkait pengurangan ATSI terkait pengurangan PNBP dan diganti dengan janji untuk mempercepat coverage dan pemerataan infrastruktur digital," kata Wawan. 

Industri Telekomunikasi Tidak Baik-Baik Saja

Adopsi 5G, Operator Ini Bakal Jadi yang Pertama di Dunia
Teknologi 5G memampukan pengguna ponsel untuk dapat mengakses internet dengan kecepatan 30-50 kali lebih tinggi dari 4G

Meski peran operator telekomunikasi begitu krusial menggenjot ekonomi digital, ternyata industri telekomunikasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. 

Sejak memasuki masa kejenuhan (saturated) pada 2013, pertumbuhan industri telekomunikasi khususnya selular, kini tak lagi mewah. Jika sebelumnya double digit, sekarang sudah single digit. 

Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), industri telekomunikasi tumbuh melambat ke level 7,19 persen secara tahunan. Fakta ini menjadi alarm bagi ekosistem industri teknologi digital yang mampu tumbuh tinggi saat pandemi Covid-19.

Pertumbuhan yang melambat juga tercermin dari ARPU (average revenue per user). ARPU merupakan salah satu indikator kesehatan industri telekomunikasi. 

ARPU yang rendah pada akhirnya tentu akan berkontribusi pada pencapaian laba yang juga kurang optimal, sehingga mempengaruhi upaya operator dalam melakukan investasi dan melayani pelanggan dengan baik.  

Tiga dekade lalu, sebelum maraknya layanan data dan sosial media, ARPU operator telekomunikasi, khususnya selular mencapai Rp 75.000 - Rp 100.000. 

Namun di akhir 2022, tidak ada satu pun operator selular yang ARPU gabungannya (prabayar dan pasca bayar) menyentuh angka Rp 50.000.

 

Permasalahan Industri Telekomunikasi

20151102-XL Siapkan 4G LTE Bagi Penggila Internet di Indonesia
Teknisi XL menuruni anak tangga usai melakukan atas perangkat BTS 4G di atas menara di kawasan Lembang, Bandung, (2/11/2015). Frekuensi ini akan menjadi penopang bagi layanan 4G LTE. (Liputan6.com/Yudha Gunawan)

Menurut Uday, ada enam persoalan utama yang mendera industri telekomunikasi, terutama seluler sehingga tumbuhnya stagnan hingga saat ini. 

Pertama adalah karena regulasi super ketat, tarif data terbilang murah, kebutuhan frekuensi terus meningkat namun harga spektrum sangat mahal, besarnya regulatory charge dari BHP frukuensi hingga USO. 

Masalah lain yang dihadapi juga mencakup kewajiban membangun hingga pelosok namun minim insentif, dan ketimpangan kebijakan operator seluler dibandingkan penyelenggaraan OTT. 

Infografis Konsumsi Media
Musim Semi Internet (liputan6.com/deisy)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya