Serikat Pekerja Minta Ganti Rugi Pemerintah Jika Newmont Tutup

Penerapan larangan ekspor yang membuat Newmont menghentikan kegiatan produksi. Akibatnya 80% dari 4.000 karyawan Freeport dirumahkan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 05 Jun 2014, 19:04 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2014, 19:04 WIB
Pekerja Newmont
(Foto: Achmad Dwi Afriyadi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) hari ini secara resmi menyampaikan pemberitahuan kepada pemerintah dan karyawan bahwa perusahaan sedang dalam keadaan kahar (force majeure) sesuai kontrak karya.

Hal itu seiring dengan penerapan larangan ekspor yang membuat perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan produksi.  Akibatnya 80% dari 4.000 karyawan Freeport dirumahkan.

Serikat Pekerja Nasional (SPN) Newmont mengancam bakal menuntut ganti rugi dari pemerintah jika dipecat gara-gara Newmont menutup seluruh kegiatan operasional di tambang Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat (NTB) secara permanen.

Pasalnya, terganggunya kegiatan operasional perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut disebabkan ketentuan ekspor yang dirilis yaitu penerapan bea keluar dan larangan ekspor yang diberlakukan pada Januari 2014.

Menurut Ketua SPN PTNNT Nasruddin mengatakan, kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut telah memberatkan kinerja perusahaan.

"Jadi jika pemerintah tidak merevisi aturan, maka Agustus akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, maka tuntutan SPN pemerintah membayar karyawan Newmont karena penyebabnya pemerintah," kata dia, Jakarta, Kamis (5/6/2014).

Tak hanya itu, jika Newmont resmi ditutup, Nasruddin meminta agar pemerintah menyerahkan sisa tambang tersebut menjadi pertambangan rakyat. Pasalnya mereka sudah mampu menggali tambang secara tradisional dan dengan cara seperti para pekerja yang di-PHK mampu menghidupi dirinya.

Presiden Direktur Newmont Nusa Tenggara Martiono Hadianto menuturkan,  perusahaan telah melakukan berbagai langkah dan upaya untuk membantu menyelesaikan masalah ekspor ini dan mendukung kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri.

"Namun, meski segala upaya terbaik telah kami lakukan, perusahaan belum dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga sejak Januari lalu dan belum menerima izin ekspor," jelas dia.

Selain itu, ketentuan ekspor yang baru yaitu penerapan bea keluar dan larangan ekspor yang diberlakukan pada Januari 2017 sangat berdampak pada kelayakan ekonomi operasi Batu Hijau dan tidak sesuai dengan Kontrak Karya.

"Karenanya, kami tidak punya pilihan lain kecuali menyatakan keadaan kahar,” ujar Martiono. (Amd/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya