Pertamina Sebut Peniadaan Premium di Tol Tak Efektif

Pengendalian penggunaan BBM bersubsidi melalui Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka. BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 27 Agu 2014, 14:15 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2014, 14:15 WIB
Sebuah SPBU kehabisan stok bensin jenis premiun di Kediri, Jatim, Senin (28/2). Belasan SPBU di daerah Kediri mengalami kelangkaan stok, terutama untuk jenis premium. (Antara)

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) menyatakan pengendalian konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi dengan meniadakan premium di jalan tol tidak efektif.

Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya mengatakan, tujuan awal ditiadakan premium pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di jalan tol adalah untuk melakukan penghematan premium sebesar 700 kiloliter (kl) per hari.

Namun ternyata, kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka. BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, tersebut tidak ampuh menekan konsumsi BBM bersubsidi.

"Setelah berjalan, kami mengambil kesimpulan pelarangan penjualan premium di SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak efektif mengurangi konsumsi," kata Hanung, di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu (27/8/2014).

Menurut Hanung, konsumsi premium tetap sama dan tidak berkurang. Pasalnya, kendaraan mengisi BBM bersubsidi di luar jalan tol. "Volume SPBU di luar jalan tol volumenya naik persis 700 kl," ungkap Hanung.

Menurut Hanung, dengan kondisi tersebut menjadi salah satu latar belakang Pertamina melakukan pengendalian penyaluran BBM bersubsidi untuk menghindari over kuota BBM yang dilimpahkan ke Pertamina.

"Nah bedasarkan fakta tersebut kebijakan pengendalian di jalan tol tersebut tidak mampu menurunkan konsumsi BBM PSO, sementara risiko sampai kuota BBM PSO terlampaui ada di Pertamina," jelasnya.

Untuk diketahui, pengendalian penggunaan BBM  bersubsidi melalui Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka. BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, merupakan tindak lanjut keputusan DPR mengenai kuota BBM bersubsidi dari 48 juta kl menjadi 46 juta kl. (Pew/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya