Lakukan Perbudakan, Pusaka Benjina Terancam Ditendang dari RI

Surat izin penangkapan ikan (SIPI) Pusaka Benjina Resources telah dicabut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Apr 2015, 18:53 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2015, 18:53 WIB
6 Kapal Asing Pencuri Ikan Menunggu Diledakan
Kapal-kapal itu terlihat sangat besar dan telah dilengkapi berbagai teknologi mumpuni dibandingkan kapal nelayan Indonesia. (Liputan6.com/Richo Pramono)

Liputan6.com, Jakarta - PT Pusaka Benjina Resources (PBR) terancam kehilangan izin untuk berinvetasi di Indonesia menyusul kasus perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) yang dilakukan oleh  di perairan Benjina, Maluku.

Direktur Jenderal Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Asep Burhanudin mengatakan, kepastian terkait pencabutan surat izin usaha perikanan (SIUP) tersebut akan dibahas bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Rabu (22/4/2015) sore ini.

"Sore ini akan dibahas di BKPM untuk pencabutan investasinya. Kita usulkan kepada BKPM untuk menbicarakan kelayakan operasi pemilik modal yang berinvestasi di Benjina," ujarnya di Jakarta, Rabu (22/4/2015).

Dia menjelaskan, surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) yang dimiliki oleh perusahaan tersebut kini juga telah dicabut oleh KKP. Dengan demikian otomatis PBR sudah tidak bisa lagi beroperasi.

"Pusaka Benjina Resources resmi mencabut SIKPI dan SIPI kapal-kapal yang ada di sana. Untuk pencabutan surat izin perusahaan Pusaka Benjina Resources, kalau dicabut berarti seluruh kegiatan perikanan PBR di sana dihentikan," lanjutnya.

Sementara itu, Sekretasi Jenderal KKP Syarif Widjaja mengatakan pencabutan ini sudah sesuai dengan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal penanggulangan IUU Fishing dan keberlanjutan dalam pengelolaan perikanan seperti Permen KP Nomor 56 Tahun 2014 tentang Moratorium Kapal Ikan dan Permen KP Nomor 57 Tahun 2014 tentang Larangan Transhipment.

"Permen KP Nomor 56 Tahun 2015 tentang moratorium, maka sejak November 2014 dilakukan proses replikasi. Makanya muncul temuan soal ketidakpatuhan operasi dari PBR," tandasnya. (Dny/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya