RI Harus Berutang Demi Bangun Infrastruktur

Kebutuhan pendanaan untuk membangun infrastruktur selama lima tahun mencapai Rp 6.000 triliun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 30 Apr 2015, 18:55 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2015, 18:55 WIB
Aksi aktivis Koalisi Anti Utang di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (16/8). Mereka mendesak pemerintah melakukan audit hutang luar negeri.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) menyatakan kebutuhan pendanaan untuk membangun infrastruktur selama lima tahun mencapai Rp 6.000 triliun. Anggaran tersebut bisa berasal dari penerimaan negara, investasi swasta sampai utang.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Suahasil Nazara mengungkapkan, dana infrastruktur dari APBN-P 2015 sebesar Rp 290 triliun. Asumsinya jika dikalikan lima tahun, maka anggaran yang dapat dipenuhi dari uang negara hampir Rp 1.500 triliun.

"Tapi kita butuh buat bangun infrastruktur sekira Rp 5.500 triliun sampai Rp 6.000 triliun dalam kurun lima tahun. Tentu anggaran itu kurang, jadi sisa kebutuhan bisa dari pinjaman luar negeri lunak, yang masuk akal dan kerjasama pemerintah swasta," jelas dia di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (30/4/2015).

Kata Suahasil, pemerintah wajib menyelamatkan perekonomian yang lesu melalui optimalisasi belanja, terutama di infrastruktur. Pasalnya ini akan memberikan multiplier effect dari belanja pemerintah.

"APBN-P sudah disetujui, ayo belanja khususnya bangun infrastruktur. Belanja produktif akan menyelamatkan perekonomian. Untuk mendorong belanja, procurement masing-masing Kementerian harus dipercepat," sarannya.

Terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku, pemerintah Indonesia dapat mencari pinjaman untuk menambal kekurangan belanja apabila penerimaan negara dari sektor pajak dan non pajak belum cukup membiayai pembangunan infrastruktur.

"Pinjam ke World Bank tidak apa, memang kenapa. Kalau penerimaan belum diyakini tinggi, sedangkan belanja masih besar, ya terpaksa kita utang," terang dia. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya