Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah menembus angka 13.000 sejak 5 Maret lalu. Depresiasi kurs diprediksi masih akan terjadi dengan ancaman krisis moneter 1998 terulang kembali jika pemerintah dan Bank Indonesia tidak melakukan kebijakan substansial untuk mencegahnya.
Demikian dikatakan Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi, Agus Tony Poputra dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (14/6/2015).
Dia mengungkapkan, pelemahan rupiah memberi keuntungan bagi Indonesia karena dapat meningkatkan ekspor. Hal itu benar hanya jika ekspor Indonesia jauh melampaui impor. Faktanya impor Indonesia telah melewati ekspor pada beberapa tahun terakhir.
"Stabilisasi rupiah yang hakiki tidak dapat diselesaikan lewat kebijakan yang bersifat responsif, seperti membentuk Crisis Management Protocol (CMP) karena hanya memberi solusi jangka pendek," kata dia.
Agus menyebut, ada lima faktor yang membuat rupiah sangat rentan terhadap pengaruh global, antara lain :
1.Kurangnya usaha serius pemerintah selama beberapa dekade mendorong produksi barang substitusi impor. Hasilnya tekanan impor semakin deras yang berujung rupiah semakin terekspos.
2. Lambatnya penerapan kebijakan hilirisasi terutama sektor pertambangan. Ini membuat sumber daya alam terdeplesi luar biasa, namun nilai tambah domestiknya sangat kecil.
Selain itu, terjadi export illusion yang signifikan pada sektor pertambangan yaitu nilai ekspor besar, tapi devisa yang masuk kecil. Ini membuat dana pihak ketiga perbankan dalam negeri tumbuh melambat serta cadangan devisa tidak meningkat signifikan.
Selama 4 tahun terakhir, cadangan devisa Indonesia hanya berkutat pada US$ 95 sampai US$ 124,64 miliar. Posisi tertinggi US$ 124,64 miliar ini dicapai pada Agustus 2011. Angka tertinggi ini sulit dicapai kembali, karena Mei 2015 saja posisi cadangan devisa US$ 110,8 miliar.
"Tidak kuat jika cadangan devisa itu buat intervensi rupiah dalam rangka stabilisasi rupiah," tegasnya.
3. Lebih dari 20 tahun pemerintah tidak memperhatikan secara serius terhadap kebijakan lokal konten. Dampaknya nilai impor bahan baku semakin meningkat seiring bertambahnya permintaan produk untuk pasar domestik maupun ekspor.
4. Meningkatnya perilaku konsumsi barang impor sebagai alat aktualisasi diri sehingga meningkatkan permintaan barang impor. Kondisi ini terjadi karena minimnya kampanye untuk menggunakan produk dalam negeri.
5. Penerapan kebijakan devisa terlalu bebas. Ini mengakibatkan sulitnya mengendalikan pergerakan devisa. Akhirnya rupiah menjadi mudah dimainkan.
Menurut Agus, pelemahan nilai tukar rupiah lebih disebabkan faktor fundamental. Sehingga penanganannya harus menyentuh faktor-faktor fundamental, yaitu:
1. Perlu kebijakan yang mendorong industri penghasil produksi substitusi impor yang banyak dikonsumsi masyarakat. Juga dibutuhkan kebijakan untuk mengintegrasikan usaha besar, menengah dan kecil yang berada dalam satu mata rantai produksi ke dalam hubungan inti-plasma
2. Pemerintah harus tegas dan konsisten dalam kebijakan hilirisasi. Kebijakan ini perlu ditunjang dengan percepatan pembangunan infrastruktur terutama perhubungan dan listrik.
3. Menerapkan kembali kebijakan lokal konten serta melakukan pengawasan yang ketat. Ini berguna untuk mengurangi tekanan impor bahan baku
4. Melakukan kampanye besar-besaran untuk menggunakan produk dalam negeri terutama lewat jalur pendidikan mulai dari sekolah dasa
5. Kebijakan devisa perlu diramu kembali untuk memperkuat posisi BI atas lalu lintas devisa. Salah satunya memperpanjang waktu endap devisa hasil ekspor di perbankan nasional. Juga tegas dan konsisten dalam penerapan rupiah sebagai mata uang transaksi dalam negeri serta pembelian emas dalam negeri oleh BI untuk memperkuat cadangan devisa.
Advertisement
(Fik/Ndw) Â Â