Menko Sofyan: Masih Ada Ruang Buat RI untuk Berutang

Indonesia perlu memikirkan pelebaran defisit anggaran yang harus dijaga maksimum 3 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 03 Jul 2015, 18:14 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2015, 18:14 WIB
Ilustrasi Obligasi
(Foto: Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa penerimaan pajak meleset dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 120 triliun. Namun skenario terburuk ini bukan dijadikan alasan bagi pemerintah untuk memangkas anggaran belanja negara.

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil di kantornya, Jakarta, Jumat (3/7/2015). "Saya pikir jangan dipangkas dulu, kan masih ada pinjaman yang bisa dipakai," ucap dia.

Menurut Sofyan, Indonesia masih mempunyai ruang cukup besar untuk berutang demi menutupi kebutuhan belanja negara yang mencapai Rp 1.984,1 triliun pada APBN-P 2015. Dari catatannya, rasio utang negara ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sekitar 25 persen atau lebih rendah dibanding negara lain.

"Utang kita baru 25 persen dari PDB, walaupun kita pernah mencapai 100 persen pada 1998. Coba lihat Yunani dan negara lain utangnya di atas 200 persen dari PDB. Jadi masih ada ruang untuk berutang," papar dia.

Hanya saja, tambah Sofyan, Indonesia perlu memikirkan pelebaran defisit anggaran yang harus dijaga maksimum 3 persen. Sementara perkiraan shortfall penerimaan pajak sebesar Rp 120 triliun, akan terjadi pembengkakan defisit anggaran sebesar 2,2 persen dari PDB.

Dia memastikan, berutang merupakan hal wajar selagi pinjaman ini diperuntukkan bagi belanja produktif seperti pembangunan infrastruktur dan bukan konsumsi, apalagi subsidi.

"Selama ini kita pakai utang untuk membakar (subsidi BBM). Itu yang tidak bagus. Tapi kalau utang digunakan untuk modal bangun infrastruktur, maka ada pertumbuhan dan kita bisa bayar utang," terangnya.

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro sebelumnya menjelaskan, penerimaan pajak diproyeksikan akan lebih rendah dari target di samping penyerapan belanja di bawah 100 persen.

"Itulah hal yang membuat realisasi tidak sama dengan yang disepakati. Jadi perkiraan defisitnya 1,9 persen sampai 2,2 persen dari PDB. Potensi pelebaran defisit sampai 2,2 persen dengan asumsi penerimaan pajak yang tidak tercapai," ujar dia.

Lebih jauh dijelaskan Bambang, Kemenkeu telah memikirkan skenario pesimistis dengan pelebaran defisit mencapai 2,2 persen dari PDB meski level itu masih dinilai wajar dan terkendali. "Artinya belanja shortfall Rp 60 triliun dan penerimaan pajak shortfall sampai Rp 120 triliun," tegasnya. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya