Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diketahui mendukung aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC).
Dukungan Kemenkeu itu tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-900 Tahun 2013 tanggal 10 Desember 2013. Surat itu ditujukan kepada Menteri Kesehatan.
Baca Juga
Hal itu diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazar. “Dukungan itu belum berubah sampai sekarang,” kata Suahasil, Jumat (7/8/2015).
Advertisement
Keputusan Menkeu ini mengundang kritik. Pengamat Hukum Tata Negara Margarito menilai, dukungan Kemenkeu terhadap FCTC melampaui sikap Presiden Jokowi yang sampai saat ini belum memberi dukungan.
Secara ketatanegaraan, menurut dia, Kemenkeu tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini, termasuk dan tidak terbatas pada pembahasan apalagi pelembagaan aksesi sepanjang tidak ada perintah langsung dari Presiden.
Bila Kemenkeu terus dengan langkahnya, Presiden diminta mengingatkan agar Kemenkeu tidak mengeluarkan aturan yang melewati kewenangan. "Karena sebagai pembantu Presiden, Menkeu tidak boleh bertindak melampaui kewenangan presiden," tegas dia.
Dia mengingatkan, pemerintah jangan gegabah meratifikasi FCTC karena harus dilakukan hati-hati. Sebab ratifikasi dinilai sudah pasti dipenuhi kepentingan asing dan merugikan industri dan petani dalam negeri.
"Pemerintah sebelum memutuskan meneken ratifikasi harus benar-benar menghitung aspek-aspek yang melemahkan, merugikan petani dan pengusaha nasional," tegasnya.
Menurut dia, jika masing-masing pejabat pemerintah berbeda pendapat soal FCTC, masyarakat menilai pemerintah tidak solid alias tidak kompak.
Budayawan Mohammad Sobary mengaku prihatin dengan dukungan tersebut karena sejatinya membahayakan petani tembakau. Bila ini dilakukan dikatakan Kemenkeu mendukung bangsa asing.
Ia mengingatkan, asing saat ini berkepentingan untuk mencaplok bisnis kretek dalam negeri yang besar. FCTC dan segenap aturan mengenai tembakau dan produk-produk olahannya, disusun berdasarkan kepentingan asing. Dan kalau didalami, FCTC tak lebih adalah praktek dagang tidak sehat ketimbang mengusung isu kesehatan.
Di mana, ketika argumen demi kesehatan masyarakat itu tidak manjur, digantilah argumen ekonomi bahwa merokok itu pemborosan. Argumen ekonomi ini pun tak begitu berpengaruh. Tetapi pelobi asing dibantu aparat pemerintah dari pusat hingga ke daerah-daerah, kaum profesional, para dokter, kaum aktivis, dan seniman dengan penuh semangat menelan argumentasi ini tanpa mau berpikir kritis atas argumentasi tersebut. (Amd/Nrm)