BI: RI Tak Perlu Mengekor China Lemahkan Mata Uang

Dengan kondisi rupiah yang sudah undervalue, Indonesia tidak perlu mengikuti langkah China.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 11 Agu 2015, 21:45 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2015, 21:45 WIB
Gedung BI
(Foto: Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai Yuan dengan melebarkan rentang mata uang China (currency band) 1,9 persen tak perlu diikuti oleh Indonesia. Bank Indonesia (BI) menilai kurs rupiah saat ini sudah berada pada posisi undervalue.

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara mengungkapkan, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 8,5 persen hingga saat ini. Namun jika diitung sejak 2013, dikatakannya, rupiah melemah cukup besar sekira 30 persen. Sementara nilai tukar Yuan China melemah 2 persen.

"Rupiah sebagai mata uang sudah undervalue, karena dilihat indeks dari Real Effective Rate (RER), rupiah sudah di bawah 100, bahkan di bawah 90. Itu artinya sudah undervalue," kata dia di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (11/8/2015) malam.

Dengan kondisi rupiah yang sudah undervalue, disarankan Mirza, Indonesia tidak perlu mengikuti langkah China untuk mendepresiasi mata uang rupiah. "Jadi tidak perlu ikut-ikutan. Kebijakan depresiasi tidak perlu diikuti Indonesia," tegas dia.

BI, sambung Mirza, selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Mirza mengungkapkan, China sengaja mendevaluasi mata uang Yuan lantaran kalah dari sisi ekspor mengingat harganya yang mahal.

Dari catatannya, hanya ada dua mata uang yang justru menguat akibat kebijakan China, yakni Franc Swiss dan Poundsterling Inggris. Sementara Yuan hanya terkoreksi sedikit tapi tetap terkontrol.

Lebih jauh dia menjelaskan, sementara Jepang terdepresiasi lebih dari 25 persen dalam kurun waktu 2,5 tahun, Korea 6 persen di tahun ini. Sedangkan kompetitor perdagangan China adalah Jepang, Korea dan Singapura untuk produk-produk manufaktur.

"Jangan pakai bahasa currency war, karena perang mata uang itu menurut perusahaan luar negeri. Yang pasti devaluasi Yuan karena China mengalami penguatan mata uang, sehingga produknya jadi mahal dan kalah ekspor di tengah pertumbuhan ekonominya yang turun," tegas dia.

Sementara Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Suahasil Nazara mengatakan, depresiasi kurs rupiah bisa mendorong daya saing produk barang ekspor Indonesia karena harganya lebih murah.

"Tapi kan China juga mendevaluasi mata uangnya, jadi bisa menurunkan harga barangnya dan mendorong competitiveness mereka," tandas Suahasil. (Fik/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya