Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kukuh menaikkan pungutan cukai pada 2016 mencapai Rp 148,9 triliun seperti tercantum dalam nota keuangan dan keterangan pemerintah tentang RUU APBN 2016.
Target tersebut dinilai memberatkan karena kenaikannya mencapai 23 persen dibandingkan dengan target cukai 2015 yang tertuang di APBN yang diteken di September 2014, yaitu sebesar Rp 120,6 triliun. Sejumlah kalangan meminta agar pemerintah tidak sembarangan menaikkan pendapatan melalui cukai, mengingat kondisi ekonomi tengah sulit.
Baca Juga
Seperti disampaikan Pengamat Ekonomi sekaligus Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier yang mempertanyakan keputusan pemerintah untuk terus bergantung pada cukai tembakau. Dia pun menolak rencana kenaikan cukai tersebut.Â
Advertisement
"Yang mencapai target selalu cukai rokok, industri yang memiliki sifat kepribumian. Tapi ini pun mulai diganggu. Sebaiknya pemerintah tidak usah menaikan cukai tembakau. Ingat, yang bikin tidak sehat tidak cuma rokok tapi juga polusi-polusi di jalan," tegas Fuad di Jakarta, Rabu (2/9/2015).
Lebih lanjut dia mencurigai kenaikan cukai titipan pihak tertentu. Padahal secara ekonomi, industri rokok paling banyak menyerap konten lokal, mulai dari bahan baku, tenaga kerja, bahkan kontribusi ke penerimaan negara lebih dari 50 persen.
Dia pun meminta DPR berani menyuarakan penolakan kenaikan cukai rokok ke pemerintah. "Target pajak dan cukai pemerintah terlalu ambisius. Padahal dalam tiga tahun terakhir kinerja perpajakan di tiap semester I hanya 43%. Sekarang saja semester I baru 37%," tandas dia.
Imbas dari kenaikan target cukai yang eksesif, apalagi dibarengi dengan melemahnya daya beli masyarakat, akan langsung dirasakan pabrikan rokok, tenaga kerja, serta petani tembakau dan cengkeh. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, ratusan perusahaan rokok gulung tikar dan telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan kecil maupun besar.
"Cukai rokok satu satunya pajak yang tercapai targetnya tahun 2014 dan 2015. Sudah tinggi tapi bisa tercapai, jangan dimusuhi karena banyak juga unsur komponen di dalam negerinya. Jangan terlalu serakah nanti malah matiin, jangan terus diuber uber nanti malah gembos," tandas Fuad.
Ia menambahkan, jika pemerintah terlalu memaksa menaikan cukai apalagi dengan menerapkan kebijakan yang tidak dikonsultasikan dengan industri dan dipaksakan seperti PMK 20/PMK.04/2015 yang berisikan penghapusan fasilitas penundaan pembayaran pita cukai melalui mekanisme pencepatan pembayaran tahun berjalan, akan kian memberatkan industri.
"Sekarang ini cukai rokok sudah sangat besar pemasukan ke negara juga sudah bagus, jadi jangan dimatikan. Tidak usah cukai naik lagi. Nanti petani tembakau itu bisa ribut, PHK juga bakal lebih banyak jadi pemerintah tidak usah bikin gol bunuh diri,"tegas Fuad.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sekitar 16 persen dalam lima tahun terakhir. Kebijakan itu telah mematikan ribuan perusahaan rokok kecil yang ada di Indonesia.
Pada tahun 2014, dengan kenaikan cukai kurang dari 12 persen, telah terjadi PHK 10 ribu buruh rokok kretek, hampir semua perempuan. Kemudian, pada 2009 jumlah pabrik rokok sekitar 4.900 pabrik, dengan kenaikan cukai setiap tahun, sekarang tersisa 600 pabrik.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran menegaskan, kenaikan cukai tidak pernah dibicarakan dengan kalangan industri.Â
"Pemerintah mestinya realistis. Seringkali pemerintah berargumen bahwa data menentukan kebijakan. Jika pemerintah tak mampu melihat data kondisi rill maka kebijakan pun salah, sehingga terkesan industri jadi target buru pemerintah," ujar dia. (Nrm/Ahm)