Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) mengungkapkan peristiwa kebakaran di beberapa wilayah Indonesia dan menimbulkan kabut asap merupakan tidak patuhnya pengusaha dan petani berbasis lahan imbas dari sulitnya pemahaman regulasi masyarakat umum.
Padahal, Ketua Umum KADIN Bidang Lingkungan Hidup Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan (LHPIPB) Shinta Widjaja Kamdani menuturkan kabut asap menyebabkan kerugian materil dan non-materil bagi warga, termasuk warga di sejumlah negara tetangga Indonesia.
"Regulasi yang tidak dipahami dengan baik oleh publik, kurangnya pengawasan dan pemahaman terhadap akar permasalahan menyebabkan penanganan terhadap kebakaran hutan dan kabut asap yang setiap tahun terjadi di Indonesia," kata dia dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (19/9/2015).
Dia mengatakan, pemerintah perlu melakukan analisia agar hal tersebut supaya hal tersebut tak terus-menerus terulang. Pasalnya, pemerintah selalu melakukan penindakan setelah perisitiwa terjadi.
"Sejauh ini pemerintah nampak terpaku pada penindakan dan penanggulangan setelah ada kejadian sehingga kurang efektif” jelas Shinta.
Shinta memberi contoh lemahnya pengawasan pada perusahaan yang telah memiliki HGU terutama untuk mekanisme pembukaan lahan.
“Kalau pemerintah memiliki sistem pengawasan untuk pemilik HGU, maka kemungkinan pelanggaran dalam pembukaan lahan dapat teridentifikasi dengan cepat dan kebakaran bisa dicegah. Sistem ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengerti akar permasalahan dari praktek membuka lahan dengan membakar khususnya oleh pengusaha kecil maupun petani, misalnya kurangnya akses pendanaan atau kapasitas pengelolaan lahan yang baik”, jelasnya.
Dari sisi regulasi Shinta menilai dapat menimbulkan celah multi tafsir hingga diinterpretasikan berbeda juga perlu dikritisi. Contohnya, UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU tersebut pasal 69 ayat (1) setiap orang dilarang; (h) melakukan pembukaan lahan secara dibakar.
Ayat (2) dalam pasal yang sama menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperlihatkan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing.
Sementara di bagian penjelasan (UU RI No 32/2009) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kearifan lokal pada pasal 69 ayat 2 adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per-kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
“Hal-hal seperti inilah yang dikhawatirkan akan digunakan oknum pengusaha dan petani yang melakukan pembakaran hutan dengan dalih pembenaran UU tersebut”, tandas dia. (Amd/Ndw)