Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami lonjakan terbesar sejak Mei 2012. Penguatan ini juga diikuti laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham Selasa pekan ini.
Hal ini dipicu ada sinyal kalau investor kembali ke aset investasi di Indonesia. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing telah melakukan aksi beli sekitar Rp 396,30 miliar sejak perdagangan saham 2 Oktober 2015.
Rupiah melonjak 1,8 persen menjadi 14.233 per dolar AS pada pukul 11.36 waktu Jakarta. Pada pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah naik 2,8 persen, dan mengikis pelemahan menjadi 13 persen.
Advertisement
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pun menunjukkan rupiah menguat terhadap dolar AS. Rupiah menguat 222 poin menjadi 14.382 per dolar AS dibandingkan perdagangan Senin 5 Oktober 2015 di level 14.604 per dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah bergerak di kisaran 14.175-14.481 per dolar AS.
Penguatan rupiah ini memimpin reli di antara mata uang Asia pada perdagangan Selasa pekan ini. Spekulasi kalau bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve akan menunda kenaikan suku bunga hingga tahun depan berdampak positif ke rupiah. "Ada sejumlah kesempatan di negara berkembang termasuk Indonesia menyusul aksi jual baru-baru ini," ujar Michael Hasenstab, Analis Franklin Templeton seperti dikutip dari laman Bloomberg, Selasa (6/10/2015).
Rencana rilis paket kebijakan ekonomi jilid III juga ditunggu pelaku pasar. Paket kebijakan ekonomi jilid III yang akan lebih tepat sasaran menjadi angin segar bagi ekonomi Indonesia. "Semua langkah-langkah pemerintah dan bank sentral menunjukkan ketekunannya untuk mendukung penguatan rupiah," ujar Kepala Riset Malayan Banking Bhd, Saktiandi Supaat.
Seperti diketahui, dana investor asing keluar dari pasar modal Indonesia mencapai US$ 1,2 miliar pada 2015. Adapun dari obligasi pemerintah mencapai US$ 833 juta atau sekitar Rp 11,86 triliun pada kuartal II 2015. Aksi jual investor ini dipicu ekonomi China melambat dan rencana bank sentral AS atau The Federal Reserve untuk menaikkan suku bunganya. Sementara itu, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun naik tipis menjadi 9,15 persen.
Sentimen "Menghidupkan"
Sejumlah analis menilai ada berbagai sentimen yang mendukung penguatan rupiah, mulai dari internal dan eksternal. "Ada sentimen variasi antara investor lokal dan asing kembali ke pasar karena sentimen berubah menjadi lebih baik," ujar Ikhwani Fauzana, Kepala Treasury PT Bank Negara Indonesia Tbk.
Supaat memprediksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat melemah ke level 15.000 pada akhir tahun. Akan tetapi, kebijakan bank sentral untuk menstabilkan rupiah dan tekad pemerintah menarik investasi dapat mendorong rupiah bergerak ke level 14.500 per dolar AS.
Dari eksternal, pengusaha AS hanya menambahkan sedikit tenaga kerja pada September dari perkiraan. Penyerapan tenaga kerja AS dari non-sektor pertanian dan pemerintah bertambah menjadi 142 ribu pada September 2015 dari perkiraan sebelumnya 200 ribu. Rilis data ekonomi AS ini membuat spekulasi kalau bank sentral AS akan menahan suku bunganya.
"Tidak ada sesuatu mendasar terjadi. Setelah keluar angka data tenaga kerja AS sehingga menangkap posisi dolar AS dalam jangka panjang. Reli terjadi pada rupiah hanya sementara," ujar Sean Yokota, Kepala Riset Skandinaviska Enskilda Banken AB. (Ahm/Igw)*