Setahun Jokowi-JK di Mata Buruh

Ada tiga hal yang menjadi sorotan kaum buruh, yaitu kualitas upah, kualitas jaminan sosial dan kepastian kerja.

oleh Septian Deny diperbarui 19 Okt 2015, 15:21 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2015, 15:21 WIB
Demo Buruh
Ratusan buruh bergerak dengan berjalan kaki memenuhi seluruh Jalan Raya Serpong menuju BSD dan pintu tol yang membuat lalu lintas lumpuh. (Naomi Trisna/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Tepat pada 20 Oktober 2015 besok, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) genap berusia 1 tahun. Ada sejumlah evaluasi terkait kinerja dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya terkait masalah perburuhan.

Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi mengatakan, ada tiga hal yang menjadi sorotan kaum buruh, yaitu kualitas upah, serta kualitas jaminan sosial dan kepastian kerja.

Terkait kualitas upah, lanjut Rusdi, pada pekan lalu pemerintah telah mengumumkan paket kebijakan ekonomi jilid IV yang salah satu isinya terkait dengan formula perhitungan upah minimum. Dalam formula baru ini, besaran upah dihitung dari nilai upah minimum dikalikan besaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Formula perhitungan ini mendapatkan penolakan dari buruh, khususnya yang tergabung dalam KSPI. Formula ini dinilai hanya menguntungkan pengusaha dan tidak berpihak pada kepentingan buruh.

"Pada paket I, paket II, dan paket III untuk pengusaha, paket IV yang katanya untuk buruh tapi tidak memenuhi kepentingan para buruh. Ini adalah kembali lagi untuk pengusaha," ujarnya di Gedung Joang, Jakarta, Senin (19/10/2015).

Menurutnya, selama 1 tahun pemerintah terlalu memberikan kemudahan dan proteksi pada pengusaha. Namun sayangnya keberpihakan terhadap buruh malah tidak terlihat.

"Pemerintah pro kepada pengusaha, tetapi tidak pada buruh," kata dia.

Kedua terkait jaminan sosial bagi masyarakat dan buruh. Untuk jaminan kesehatan misalnya, menurut Rusdi, hingga saat ini masyarakat yang mendapatkan jaminan kesehatan hanya 150 juta orang dari sekitar 250 juta jiwa penduduk Indonesia. Sementara sisanya yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan mayoritas merupakan masyarakat miskin dan kaum buruh.

"Belum lagi ketika pemerintah merevisi PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 46 ke PP Nomor 60 terkait JHT (jaminan hari tua), di sini teman-teman buruh malah dikenakan pajak progresif. Di negara lain diberikan subsidi, di sini malah dikenakan pajak. Sudah kena PHK malah JHT-nya dikurangi," jelasnya.

Selain itu, iuran jaminan pensiun di Indonesia juga dinilai paling kecil dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menjadi kekhawatiran bagi para buruh saat memasuki masa pensiun nantinya.

"Uang jaminan sosial Malaysia lebih besar dari APBN kita yaitu lebih dari Rp 2.000 triliun, Jepang malah Rp 15.000 triliun. Kemudian dari besaran iuran jaminan pensiun di Singapura 33 persen di mana pengusaha 22 persen dan pekerja 11 persen. China 28 persen, pengusaha 20 persen dan pekerja 8 persen, sedangkan Indonesia hanya 3 persen," ungkapnya.

Ketiga yaitu terkait kepastian kerja. Rusdi menyatakan masalah kepastian kerja Indonesia saat ini malah menurun. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya buruh yang justru terancam kena PHK.

"Soal kepastian kerja, sekarang ini PHK terjadi di mana-mana, baik di BUMN maupun swasta. Selama 1 tahun ini, pemerintah tidak merespons mandat panja DPR untuk kepastian kerja di BUMN, terutama terkait juga dengan outsourcing," tandasnya. (Dny/Zul)*

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya