Miliarder Dermawan Ini Tak Masalah Bila Upah Buruh Naik

Pendiri sekaligus CEO Mayapada Group Dato Sri Tahir mengaku seharusnya upah di Indonesia sebanding dengan China.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 04 Nov 2015, 10:34 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2015, 10:34 WIB
Bos Mayapada Tahir
(Foto: Forbes.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri sekaligus CEO Mayapada Group Dato Sri Tahir mengaku tak mempermasalahkan kenaikan upah yang saat ini menjadi konsentrasi buruh. Pandangannya ini berseberangan dengan pengusaha lain yang mengeluhkan permintaan buruh untuk kenaikan upah.

Tahir beralasan, upah buruh di Indonesia telah menurun dalam beberapa waktu. "Buruh Indonesia sebetulnya harus dukung karena secara kualitas, penerimaan buruh turun. Pada tahun 1996 buruh kita menerima US$ 600 atau Rp 600 ribu karena US$ 1 masih Rp 1.000. Sekarang Rp 3 juta, tapi dolar sudah Rp 13 ribu. Jadi kira-kira US$200 lebih secara kualitas," katanya seperti ditulis Rabu (4/11/2015).

Melihat kondisi tersebut, dia mengimbau sebaiknya pelaku industri tidak terus-menerus menikmati upah murah. Dia mengatakan, pelaku industri juga mesti memberikan pelatihan sehingga produktivitas bisa meningkat. Jadi sejalan dengan kenaikan upah, produktivitasnya juga meningkat. 

"Buruh kita ini sekarang US$ 9, di China US$ 30. Kita sama Vietnam sama kira-kira US$ 9. Jadi sebetulnya ada ruangan. Hanya bagaimana pengusaha meningkatkan produktivitas buruh jadi tidak mengeksploitasi tapi juga mempromosikan skill labour perlu digalakkan," tuturnya.

Salah satu orang terkaya di Indonesia versi Forbes ini menjelaskan, seharusnya upah di Indonesia sebanding dengan China. Pasalnya, China dengan penduduk yang besar mampu memberikan upah buruh yang laik.

"Jadi kita jangan anggap buruh selalu low class lalu kita teken karena untung dikit. Di China rakyatnya 1,3 miliar bisa membayar US$ 30 karena produktivitasnya tinggi. Kenapa harus sama Vietnam padahal jauh di bawah kita?" tutup dia.

Sebelumnya, Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia tidak sepakat dengan formulasi upah buruh baru yang menghitung komponen hidup layak (KHL) ditambah dengan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi. Menurut Kadin indonesia, formula upah baru tersebut akan memberatkan pengusaha.

"KHL menurut saya banyak yang mengada-ada. Masa ada nonton, nanti kalau diturutin parfum, kamu pakai kapur sirih sudah selesai tidak usah pakai parfum. Ngapain gitu loh, kalau untuk makan yang sehat bergizi itu oke, kita ikutin. Memang itu kebutuhan, untuk kesehatan ke depan, tapi kalau parfum tidak masuk akal," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Suryani SF Motik.

Dia berpendapat, rumusan tersebut hanya keinginan dari segilintar orang saja. Dia mengatakan, kenaikan upah juga mesti memperhitungkan produktivitas buruh. "Saya kira ini bukan maunya buruh secara keseluruhan. Hanya segelintir saja, jadi kalau mau naik fair, naiknya karena produktivitasnya tinggi, fine ini tidak ada masalah," ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan produktivitas merupakan patokan investor untuk membenamkan modalnya di Indonesia. Apabila kenaikan selalu menjadi isu rutin dan tidak dibarengi dengan produktivitas maka investor memilih untuk menanamkan modalnya di negara lain.

"Kalau Anda bicara dengan investor baik di dalam maupun luar, mereka dituntut setiap tahun naik tanpa ada produktivitasnya itu akan berat. Nanti yang ada pengangguran yang tinggi kemudian investasi nggak masuk, termasuk orang Indonesia tidak investasi di Indonesia," paparnya. (Amd/Gdn)*

 
 
 

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya