Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan kalau cadangan devisa per akhir Oktober lebih rendah dari posisi September. Cadangan devisa Indonesia turun sekitar US$ 1 miliar menjadi US$ 100,7 miliar per akhir Oktober 2015 dari posisi akhir September 2015 di kisaran US$ 101,7 miliar.
Akan tetapi penurunan ini relatif lebih kecil dibandingkan penurunan posisi cadangan devisa pada September 2015. Posisi cadangan devisa per akhir September 2015 turun US$ 3,6 miliar menjadi US$ 101,7 miliar.
Baca Juga
Deputi Direktur Departemen Komunikasi BI, Andiwiana menuturkan perkembangan cadangan devisa itu disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.
Advertisement
"Hal itu sejalan dengan komitmen Bank Indonesia yang telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah guna mendukung terjaganya stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan," ujar Andiwiana, seperti dikutip dari laman Bank Indonesia, Minggu (8/11/2015).
Ia mengatakan, dengan perkembangan itu, posisi cadangan devisa per akhir Oktober 2015 masih cukup membiayai 7,1 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"BI menilai cadangan devisa itu mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan," kata Andiwiana.
Baca Juga
Sementara itu, Ekonom Bank Permata Joshua Pardede mengatakan penyusutan cadangan devisa relatif sedikit tersebut karena penguatan rupiah pada Oktober 2015.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah menguat 6,9 persen dari posisi 14.654 per dolar AS pada 1 Oktober 2015 menjadi 13.639 per dolar AS pada 30 Oktober 2015.
Bank Indonesia tetap melakukan intervensi di pasar di tengah ketidakpastian kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS). Joshua menilai cadangan devisa tersebut juga relatif masih aman lantaran nilainya rata-rata di atas tiga bulan untuk pembayaran impor.
"Pada akhir September pernyataan the Fed (bank sentral AS) relatif dovish, dan pertengahan Oktober mereka menyatakan secara hawkish. Ini menjadi sentimen negatif di pasar," kata Joshua saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menambahkan, meski demikian BI tetap berada di pasar untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Apalagi pernyataan pimpinan bank sentral AS Janet Yellen akan menaikkan suku bunga pada Desember 2015 masih membayangi pasar. Kenaikan suku bunga bank sentral AS dapat terjadi apabila data ekonomi makro seperti data tenaga kerja sesuai harapan.
Prediksi Rupiah dan BI Rate
Kemarin Amerika Serikat (AS) merilis laporan data tenaga kerja bertambah mencapai 271 ribu pada Oktober 2015, jauh lebih besar dibandingkan perkiraan pasar di kisaran 180 ribu. Lalu tingkat pengangguran di bawah sekitar 5 persen.
"Ini jadi sentimen negatif. Karena ada potensi the Fed akan menaikkan suku bunga pada Desember 2015," ujar Joshua.
Melihat kondisi itu, Joshua memprediksi, Bank Indonesia (BI) akan tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 7,5 persen dalam pertemuan Rapat Dewan Gubernur BI pada pertengahan November 2015. Selain itu, hingga akhir tahun rupiah masih akan bergerak di kisaran 13.500-13.800 per dolar AS.
"BI masih akan tetap menjaga nilai tukar rupiah sesuai nilai fundamentalnya dengan menjaga persediaan dan permintaan serta likuiditas rupiah. BI terus pantau," kata Joshua. (Ahm/Igw)