Liputan6.com, Jakarta - Langkah penetapan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam atas kasus dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane di Pelindo II pada 2010 dianggap bisa mempengaruhi iklim investasi.
Pakar hukum pidana dan tindak pidana korupsi LKBH FH Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting menjelaskan, rekomendasi yang dibuat oleh Pansus Pelindo II adalah meminta presiden untuk mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno, Direktur Utama Pelindo II RJ Lino dan membatalkan kerja sama investasi antara Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH) di JICT.
Menurutnya, jika rekomendasi tersebut dijalankan semua oleh presiden bisa membawa dampak buruk kepada iklim investasi. "Jika rekomendasi tersebut diakomodir, iklim investasi kita akan rusak dan kebijakan ekonomi Presiden bakal gagal total," ujar Jamin, Senin (21/12/2015).
Baca Juga
Dari hasil rekomendasi dan data-data yang disampaikan, sebenarnya terlihat bahwa Pansus Pelindo II belum bisa membuktikan alasan pembentukan pansus ini, yaitu dugaan adanya penyimpangan di Pelindo II. Bahkan terkait perpanjangan kontrak JICT, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya telah menegaskan tidak ada kerugian negara dan hasil lembaga tersebut mengikat.
Dalam situasi ekonomi yang sulit saat ini, pemerintah mestinya bisa memberikan kepastian hukum terhadap investor. Termasuk invetor asing yang telah terbukti memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.
Di sektor pelabuhan kerja sama Pelindo II dan HPH terbukti telah meningkatkan standar layanan dan kapasitas JICT hingga berkelas dunia. Saat ini, kapasitas terminal JICT mencapai 2,6 juta TEUs, meningkat tajam dibandingkan saat masih dikelola Pelindo II sendiri di tahun 1999 sekitar 1,4 juta TEUs.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi mengatakan, kerja sama dengan pihak investor asing dalam pengusahaan kegiatan pelabuhan adalah hal wajar. Termasuk kerja sama Pelindo II dengan HPH di JICT. "Kerja sama dan perpanjangan itu merupakan hal biasa dan diakukan di semua Pelindo. Saya heran mengapa hanya JICT saja yang dipersoalkan?” lontar Rusdi.
Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sebelumnya mengungkapkan banyak fakta yang disembunyikan oleh Pansus Pelindo II. Misalnya, soal dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Dalam auditnya, BPK tidak mempermasalahkan implementasi Pasal 344 ayat (3) terkait konsesi dalam proses perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT dan TPK Koja.
UU 17/2008 Pasal 344 ayat 3 hanya menunjuk Pasal 90 terkait lingkup Badan Usaha Pelabuhan, yang mengatur secara tegas bahwa pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) Kepelabuhanan tetap diselenggarakan oleh BUMN kepelabuhanan dimaksud. Ketentuan ini memberikan pelimpahan secara langsung kepada Pelindo I, II, III, dan IV dalam penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan.
Artinya, UU Pelayaran khususnya Pasal 344 menyatakan bahwa Pelindo I, II,III dan IV mendapat perlakuan khusus berupa konsesi yang diberikan langsung oleh undang-undang (concession by law). "Jika perpanjangan JICT dianggap tidak sah karena dilakukan sebelum mendapat konsesi, maka pengelolaan pelabuhan oleh Pelindo I, II, III, dan IV sejak 2011 sampai dengan November 2015 juga dapat dianggap ilegal,” kata Lino. (Gdn/Nrm)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6
Advertisement