Permen PLTS Dorong Pengembangan Energi Terbarukan

Kementerian ESDM bakal segera menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pembelian Listrik dari PLTS.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Okt 2016, 12:54 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2016, 12:54 WIB
20160302-Panel Surya ESDM-Jakarta- Gempur M Surya
Petugas memeriksa panel surya di gedung ESDM, Jakarta, Rabu (2/3/2016). Penggunaan panel surya bisa menurunkan emisi dari yang sebelumnya mengonsumsi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau berbasis batubara (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal segera menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pembelian Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) oleh PLN. Hal ini untuk mendukung pemanfaatan energi terbarukan yang ditargetkan sebesar 23 persen dari bauran energi nasional pada 2025‎.

Pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pemanfaatan pembangkit dengan energi terbarukan harus didukung semua pihak. Menurut dia, tidak ada alasan mengeluhkan tingkat keandalan sistem kelistrikan PLTS yang tidak stabil. Ini karena kelemahan tersebut bisa diatasi dengan teknologi , komponen kompensasi biaya instalasi, dan operasi yang disebut Feed in Tariff (FIT).

Menurut dia, FIT dalam Permen Nomor 19 Tahun 2016 ini telah memasukkan komponen biaya keandalan dan biaya lainnya yang selama ini dikeluhkan PLN.

"Nantinya komponen biaya kemahalan tadi akan ditanggung konsumen, dan pemerintah sudah pasti akan memberikan berbagai insentif. Karena itulah alasan Permen ini keluar," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (24/10/2016).

Fabby mengungkapkan, bila PLN dan pemerintah serius menjalankan komitmen ini, maka target sesuai roadmap Komite Energi Nasional (KEN) dimana energi terbarukan mencapai 23 persen dari bauran energi nasional pada 2025 tentu bisa tercapai.

Saat ini pemanfaatan energi terbarukan baru 5 persen target bauran energi yang tercapai. Di sisi lain pemerintah juga menagetkan 5.000 MW dari energi terbarukan bisa tercapai pada 2019.

Fabby menyatakan, jika investasi pengembangan PLTS bila dijalankan dengan baik, dalam 3 tahun-5 tahun setelah pembangkit beroperasi maka biaya produksi tarif listrik akan turun hingga mencapai lebih kecil dari US$ 0,1 per Kwh.

“Biaya ini tentu sangat murah dibandingkan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yang mencapai 0,4 per Kwh,” kata dia.

Selain itu, biaya produksi listrik untuk PLTS ini dinilai bisa jauh lebih murah. Bahkan di luar negeri seperti Brazil, Uni Emirat Arab, India dan Thailand sudah mencapai angka US$ 0,08 per Kwh.

“Memang banyak faktor kenapa bisa sangat murah seperti itu, namun kelemahan pengembangan PLTS di Indonesia semuanya bisa di atasi, tinggal jalankan saja komitmennya, mau atau tidak menjalankan bisnis PLTS,” ungkap dia.

Sebelumnya pada Rabu 19 Oktober 2016, Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Direktur Utama PLN Sofyan Basir menggelar pertemuan terkait persiapan peluncuran Permen Nomor 19 Tahun 2016.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan PLN tidak keberatan dengan aturan tersebut. Namun demikian PLN menyampaikan pengoperasian PLTS akan berdampak pada keandalan sistem kelistrikan.

Soal Feed in Tariff untuk listrik dari tenaga surya yang ditetapkan dalam Permen ESDM ini, diakui Rida, memang relatif tinggi. Tetapi energi terbarukan memang perlu insentif untuk mendorong pengembangannya. Kalau sudah berkembang, nantinya akan ditemukan teknologi yang lebih efisien untuk PLTS.

"tidak ada keberatan dari PLN, meskipun di Abu Dhabi dan lain-lain sudah murah. Perkembangan teknologi akan menurunkan harga dengan sendirinya. Ada yang cuma US$ 2,5 sen/kWh, kan jauh dengan yang kita punya. Pemerintah juga berupaya menurunkan harga," kata dia.

Seperti diketahui, tantangan terbesar yang dihadapi PT PLN (Persero) saat ini yaitu upaya mengaliri listrik ke kabupaten-kabupaten terpencil dengan kendala geografis yang sulit dijangkau. Untuk melistriki daerah-daerah pedalaman selama ini PLN sudah terlanjur menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

Sebagai gambaran, biaya pengangkutan bahan bakar minyak (BBM) untuk Kabupaten Mamberamo Tengah sebesar Rp 31.173 per liter. Ini artinya biaya produksi listrik per kWh di Kabupaten Mamberamo Tengah sebesar Rp 10.167 per kWh atau 900 persen dari harga jual rata-rata PLN Papua ke masyarakat.

Ke depan, agar biaya produksi listrik bisa lebih murah, PLN akan memperbanyak penggunaan potensi-potensi energi lokal di Papua, energi baru terbarukan (EBT) akan lebih dikembangkan. Seperti tenaga surya dan mikro hidro. (Dny/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya